Foucault dan Feminisme
Dalam mengurai diskursus yang
melingkupi ruang feminisme, menjadi niscaya bagi para aktivis gerakan perempuan
untuk berkonsentrasi pada aspek-aspek kekuasaan. Ia meliputi aspek alami, lokasi,
cara operasi, distribusi dan sirkulasi kekuasaan. Satu diantara teori yang
menjadi magnum-opus tentang detail operasional kekuasaan telah
dipersembahkan oleh Michel Foucault. Beberapa karya yang digelutinya demi
kepentingan menguak jaringan kuasa-pengetahuan terekspresi dalam konsentrasi
arkeologisnya di Madness and civilization, dan dua karya genealogisnya,
Disciplin and punish dan The history and sexuality (volume I).
Michel
Foucault (1928-1984) memulai karya intelektualnya dalam persoalan filsafat dan
humaniora, tetapi hasilnya lebih bertendensi pada kajian tentang pola relasional
kemasyarakat yang “naive truth claim”, sehingga lebih banyak mengarah pada
disiplin psikologi dan psikopatologi. Hal ini setidaknya tampak dari dua karya
perdana, Madnes And Civilization (original French edition 1961) dan The Birth of
Clinic (original frends edition 1963). Dalam dua karya besar inilah ia mula-mula
terinspirasi dan berkepentingan secara konsisten dalam rentang hidupnya untuk
mengabdi pada pencarian kerangka epistemologis yang beraras dari relasi antara
pengetahuan dan kekuasaan.
Satu diantara inspirator
terbesar Foucault dalam membuahkan hasil karyanya adalah Nietzsche. Nietzsche
adalah sosok ‘genealog’ yang berkepentingan untuk membedah sisi subtansial dari
wujudnya kebenaran, pengetahuan dan kekuasaan sebagai yang tak mungkin terlepas
dari ruang asosiasi (baca: regim kebenaran). Bagi Nietzsche, fenomena keseharian
dan realitas kesejarahan tak dapat dianggap sesederhana ruang sejarah yang
linear. Namun ia lebih berwajah heterogen, sehingga perspektif apapun yang lahir
dari rahim pengetahuan yang mengobyektifasi fenomena itu membutuhkan banyak cara
pandang untuk ruang interpretasi. Sementara pemikir lain yang mengikut pada
Nietzsche (Nietzschean) adalah seorang Prancis, Georges Bataille yang
mengkritik post-Enlightment budaya barat. Ia memberanikan diri untuk memaparkan
realitas heterogen; membela antusiasme pengalaman religius, seksualitas dan
kemabukan yang kesemuanya akan ia jadikan obyek untuk menyelami dan melampaui
batas rasionalitas kaum menengah eropa (men-transgressi) [Best and Kellner 1991
:35-36].
Kembali pada Foucault.
Sebagaimana sekilas pemaparan diatas, ia menganalisa jaringan relasional antara
kekuasaan, pengetahuan dan wacana (discourse) yang terbangun dari rajutan
rasionalitas pencerahan. Rasionalitas pencerahan (Enlightment rationality) bagi
Foucault, telah menghadirkan dirinya sebagai tata-nilai yang progressif dan
emansipatoris. Selain itu Foucault melihat adanya normalisasi yang terstruktur
dan frame rasional-empiris (empirico-rational) sebagai basis lahirnya kebenaran
dan pengetahuan. Rasio pencerahan beserta institusi yang diciptakan selanjutnya
menjadi aparatus hegemony sembari meniscayakan pola marjinalisasi terhadap
diskursus lain. Dengan demikian rasio pencerahan secara sengaja menciptakan dan
memvalidasi jaringan sosial (social network) dari kekuasaan normatif yang
mendisiplinkan dan menundukkan individu hingga pada level yang paling kecil.
Diskusi yang digelar Foucault
tentang konstruksi kuasa modern sengaja dilokasikan dalam kerangka kerja
pemikiran postmodern. Dalam menjaga konsistensinya dengan perspektif postmodern,
ia kemudian mengkritik ruang modernitas beserta klaim universalisasi nalar
modern. Sebagai tindak lanjut, ia menitik beratkan kajian tentang keperbedaan
(multiplicity), keterputusan (discontinuity), keterpecahan (fragmentation).
Dalam penyelidikannya terhadap
ruang modernitas, Foucault membedakan periode post-Renaissance sejarah manusia
eropa dalam dua era: era klassik (1600-1800) dan era modern (1800-1950). Era
klasik membentangkan perwajahan baru model dominasi hingga adanya pengistimewaan
terhadap kerangka rasionalitas, subyektifitas, pengetahuan dan norma-norma
sosial [Best and Kelner 1991 : 37]. Sementara itu di era modern, pola yang
dikonfigurasi melanjutkan model dominasi dengan cara memperhalus dan menyebarkan
‘mekanisme dominasi’. Dalam mengetengahkan rasio modern inilah Foucault
mengungkapkan :
The modern era refines and
disseminates these ‘mecanisms of domination’
[Foucault 1980 :106].
Hasilnya, rasionalisasi tentang
kesemrawutan dunia sosial secara konsisten diregulasi dan seluruh pengalaman
kemanusiaan disusun kembali hingga menjadi tatanan yang utuh (construction
unitary), formal dan menjadi scientific knowledge untuk kemudian berposisi
sebagai wacana yang mendominasi selingkup pemikiran kaum mengeah eropa di abad
modern.
Pengalaman manusia sampai pada level yang paling kecil seperti kegilaan
(madness) dan seksualitas (sexuality) sengaja ia jadikan obyek yang menghebat
dari analisis diskursif. Sebab dua hal tersebut berakibat secara langsung dalam
rekonfigurasi kehidupan manusia eropa modern bersamaan dengan rajutan paradigma
rasionalitas yang holistik tentang kebenaran dan pengetahuan. Paradigma holistik
yang dianggap ideal ini selanjutnya berpengaruh pula pada tradisi tentang amatan
historiko-politis seperti Marxisme, strukturalisme, dan liberalisme pencerahan
yang -walaupun menjadi teory mereka yang ampuh—disebutnya sebagai
‘totalitarian’ di tengah globalisme mereka sendiri dalam upaya meliput
keseluruhan fakta-fakta. Malahan, dengan mengacu pada pola pendisiplinan manusia
eropa hingga level terkecil itu, Foucault menyebut untuk sebuah ‘teotitical
production’ yang bebas, terlokasikan, dan terhindar dari amatan diskursus
tradisional yang berada dibawah panji rasio-holistik. Walaupun dalam aplikasi
teoritisnya ia menolak secara tegas pendekatan yang disebutnya totaliter diatas,
namun pendekatan epistemologis yang ia terapkan memuat
...
(lanjut ..!)
|