Studi Agama di Indonesia dan Mimpi Akan
Wilayah Normativitas
Studi Agama yang ditawarkan di Indonesia saat ini masih tetap
mengandaikan adanya wilayah normativitas. Padahal, apa yang sebenarnya dipahami
sebagai wahyu, tidak lain adalah domain historisitas juga. Sebab sudah
sedemikian lama, tiap pengudaran teks suci itu selalu melibatkan totalitas
kreatifitas zaman. Maka penyibakan ke arah orsinalitas teks suci adalah usaha
yang sia-sia, dan akan menemui jalan buntu.
Mengurai
keberadaan IAIN di tanah air bukanlah hal yang mudah. Sebab pergumulan diskursus
seputar eksistensinya, yang melibatkan totalitas kreatifitas para pemikir
pendidikan Islam, seringkali mandeg di wilayah formulasi strategi.
Bongkar-pasang pun kerapkali dilakukan mereka untuk menemukan format jitu, namun
hasilnya boleh dibilang nihil.
Kebingungan memilih rancang-bangun sistem pendidikan Islam (IAIN) ini menjadi
wajar. Sebab ketika mengurai IAIN tentu saja tidak bisa melepaskan diri dari
domain keagamaan (Islam) secara makro. IAIN hanyalah sebuah ruang kecil (mikro)
yang diandaikan sebagai medan pergulatan diskursus, pembentukan mental dan sikap,
indoktrinasi nilai, dan penanaman ideologi Islam.
Dengan demikian, rumusan konsep apapun tentang IAIN akan selalu dipertautkan
dengan bingkai besar keagamaan. Maka bisa dipastikan bahwa semua aktivitas
berfikir di institusi formal seperti IAIN adalah pantulan dari cermin besar (keagamaan),
yang didalamnya berisikan sekian banyak bungkusan produk pemikiran, yang tidak
menutup kemungkinan berbeda bahkan saling kontradiktif. Kesemuanya dihasilkan
dari kreatifitas genius subyek dari fase kesejarahannya masing-masing.
Kalau demikian tentu adalah suatu keniscayaan untuk melirik kondisi keberagamaan,
khususnya dalam lokal Indonesia, sebelum menentukan platform bagi IAIN. Hal yang
pertama-tama harus dikerjakan adalah dipersoalan keilmuan dan pemahaman tentang
agama Islam. Apakah benar Islam sudah sedemikian infallibel, yang ditopang
dengan kemampuan pemahaman masyarakat dalam menerjemahkan semua pesan Tuhan di
muka bumi ini. Ataukah pola keberagamaan manusia masih senantiasa diwarnai oleh
sikap apologis, yang dengan serta-merta meyakini tanpa berusaha menyapakannya
dengan laju historisitas yang kian cepat. Dan seberapa jauh perkembangan studi
agama di Indonesia, serta benarkah studi agama mempunyai sebuah epistemologi dan
metodologi yang jelas?
Studi Agama di Indonesia-Kritik Epistemologi
Studi Agama di Indonesia nampaknya belum begitu marak dan menjadi arus
perbincangan utama dalam dialog keseharian. Hanya segelintir orang atau kelompok
yang getol dan agaknya serius membincang tentang Studi Agama. Nalar keberagamaan
masyarakat (Islam) Indonesia masih tetap saja berkutat pada pola lama yang
diwarisi dari pergulatan masa lampau.
Wacana dominan tentang studi agama yang mengendap dalam pemahaman masyarakat
Indonesia tidak lain adalah makna tradisional yang dijumput dari kesadaran abad
pertengahan, yang bersumber dari konsepsi teologi/kalam. Wacana kalam ini
menjadi sedemikian dominannya dan mengambil peran sentral dalam menerjemahkan
pesan Tuhan dan mengatur pola keberagamaan. Apa pun perbincangan untuk mengurai
agama harus mengikuti seperangkat tata cara dan mekanisme yang diciptakannya.
Sebagai wacana dominan, ia kemudian mengambil posisi sebagai rezim yang paling
absah dalam mempresentasikan wacana keagamaan di Indonesia.
Konsepsi ini kemudian sedemikian menyatu dan mengkristal menjadi meta-logika
pengetahuan masyarakat. Kesadaran ini tentu saja memposisikan konsepsi kalam/teologi
ini tak ubahnya, bahkan mengalahkan dogmatika sendiri. Ia tak tersentuh,
dianggap infallible, dan menjadi rujukan yang paling shahih.
Fenomena keberagamaan masyarakat Indonesia yang plural, dan mempunyai warna
tradisi berbeda, ini kemudia harus dipaksa tunduk di hadapan kuasa pengetahuan
ini, yang masih kental dengan gayanya yang literalis. Dengan demikian ia
sekaligus menjadi penghakim bagi beragamnya wacana keagamaan di Indonesia yang
coba untuk tumbuh dan berartikulasi.
Padahal kalau menilik lebih jauh tentang konsepsi teologi/kalam adalah disiplin
–atau yang selanjutnya disebut Studi Agama- yang dipahami sebagai domain
interpretasi teks suci (al-Qur’an) yang dibreak-down oleh kreatifitas
subjek sebagai usaha untuk mendekatkan pesan teks itu pada relalitas
kesejarahannya. Untuk mempertemukan pesan suci (teks) itu dengan realitas inilah,
seperangkat metodologi disusun dan dijadikan patokan dalam membreak-down
teks suci itu menjadi sebuah konsepsi
Di
wilayah kalam ini model pendekatan yang dipakai masih sedemikian tekstualis. Ini
yang seringkali kemudian menegasikan dari domain historisitas kemanusiaan.
Sehingga pesan teks suci itu semena-mena dipahami secara saklek dan
sedemikian kakunya, yang selanjutnya dibenamkan dalam wilayah antroposentrisme.
Selain itu, ia memiliki masalah disipliner yang serius. Sebab konsepsi teologi/kalam
ini senyatanya masih memberi ruang previllage dan sakral pada
permasalahan tertentu yang ada dalam dogmatika. Seperti halnya persoalan
ke-Tuhan-an yang bagi mereka adalah masalah yang harusnya tidak diperdebatkan
dan dijamah oleh nalar kemanusiaan.
Maka
untuk menjadi disiplin, ia sebenarnya cacat. Sebab masih mengandaikan ada yang
harus disisakan untuk tidak diperdebatkan (unspeakable). Padahal untuk
menjadi kebenaran disipliner, setiap persoalan harus siap diperdebatkan,
dipertanyakan, bahkan diudar komposisi kebenarannya (speakable).
Lebih parah lagi, manakala masyarakat menjaganya dengan mekanisme defensif (defensife
mechanism), dengan memberi perisai yang kokoh terhadapnya. Perisai ini tidak
lain adalah logika oposisi binner (binnary-opposition) yang mengandalkan
klaim kebenaran (truth claim). Ini sebagai senjata penjagaan yang dipakai
untuk menghakimi sederetan usaha yang mencoba memberi tawaran lain selain yang
datang dari konsepsi teologi/kalam. Kemudian pada gilirannya ia akan memberangus
dari beragamnya wacana yang mencoba muncul dengan gaya yang beda. Pola yang
demikian seringkali memancing masyarakat untuk lebih menonjolkan karakter
apologisnya dari pada karakter logisnya. Sebab mereka menganggap bahwa konsepsi
dari kalam/teologi adalah sebuah jalan final, yang mengandaikan tidak memerlukan
lagi usaha untuk menerjemahkannya lagi untuk disesuaikan dengan nalar
perkembangan zaman.
Membongkar Domain Previllage
Kalau konsepsi kalam/teologi belum memenuhi syarat menjadi sebuah disipliner,
karena masih mengharuskan ada domain previllage yang harus disisakan untuk tidak
diperbincangkan dan diudar dalam ruang perdebatan apalagi diurai komposisi
kebenarannya, maka pola seperti demikian harusnya tidak semena-mena dipercaya
sebagai suatu alat penggali untuk mengembangkan agama. Harus ada pembaharuan.
Sebab kalau tetap memakai pola lama ini tentu saja akan menghasilkan sebuah
produk yang tidak jauh beda, dan tentu saja akan semakin kehilangan konteksnya,
karena tidak pernah ditandaskan pada realitas yang berkembang.
Mengapa men-Studi Agama menjadi perlu? Sebab untuk selalu mengawal nilai
universalitas sebuah agama (khususnya Islam) yang diasumsikan untuk bisa
menjawab semua problem yang lahir, maka ia menjadi sangat dibutuhkan. Tapi
permasalahan tidak terletak pada fungsinya lagi. Kesadaran untuk mengembangkan
agama tentu saja sudah lahir sejak agama itu dilahirkan. Namun, kalau kondisi
umat beragama masih tetap berkutat pada makna tradisional yang diambil dari
konsepsi kalam/teologi, apakah ini cukup representatif untuk menjawab
permasalahan keberagamaan saat ini? Tentu saja belum cukup.
Untuk menjawab ini, maka kesadaran masyarakat harus tercipta dulu untuk beranjak
dari hal yang normal menuju revolusioner. Dan yang paling pertama
harus dibenahi adalah di wilayah epistemologinya. Untuk melakukan ini tentu saja
harus berani memposisikan semua permasalahan yang ada dalam agama menjadi hal
yang speakable. Dalam tradisi kalam/teologi yang biasanya menjadi ruang
unspeakable adalah di domain ke-Tuhan-an. Guna memenuhi syarat sebuah
disipliner, maka domain ini harusnya juga diposisikan sama. Mengapa demikian?
Pertama, kalau selama ini domain ke-Tuhan-an kita taruh dalam ruang
previllage-tidak perlu diperbincangkan, maka itu sebenar memungkiri dari
eksistensi kita sendiri sebagai makhluk ciptaannya. Hubungan antara kholiq
dengan makhluk ini tentu saja akan selalu menuntut kita untuk menyapa-Nya.
Dengan demikian kita dipaksa mengada dalam payung ke-Tuhan-an.
Kalau demikian siapa yang bisa membendung obsesi eskatologis manusia? Setiap
jengkal langkah kita akan selalu dipaksa untuk mempersepsi tentang Tuhan. Nalar
pengembaraan untuk mengenali Tuhan telah ada dan mewarnai dalam tiap fase
kesejarahan, sejak manusia itu sendiri ada. Bahkan sebelum datangnya Islam, kaum
Yunani jauh hari sudah melakukan pengembaraan ini, seperti halnya yang dilakukan
oleh Plato, Aristoteles dan lainnya. Ini berarti obsesi eskatologis manusia
untuk mempersepsi Tuhan tidak bisa dipungkiri dan dicegah, karena ini adalah
bentuk yang dilahirkan dari hubungan yang determinir dengan sang kholiq.
Kedua, ketika membincang tentang agama, maka imaji kita selalu akan
tertambat pada dzat Tuhan. Sementara ini perbincangan seputar Tuhan selalu saja
kita sisihkan pada pola hubungan vertikal yang berada dalam ruang privasi kita
sebagai hamba, dengan menegasikan dimensi sosial. Penalaran demikian seringkali
menjebak pada nalar keberagamaan kita untuk membawa agama tidak turun pada
realitas kemanusiaan. Selanjutnya agama akan menjadi sesuatu yang
mengawang-awang, tanpa pernah dipahami sebagai penjawab dari problem
kemanusian. Hal ini tentu saja berlawananan dengan fungsi awal agama.
Padahal Tuhan, sebagai ruh spirit keberagamaan, harusnya dibenamkan dalam nalar
antroposentrisme. Sebab peradaban manapun selalu menjadikan Tuhan sebagai
sandaran utama manusia dalam melakukan aktivitas beragama.
Ketiga, jika selama ini kita meyakini bahwa teologi adalah ilmu yang
mempelajari Tuhan secara langsung, maka itu tidak terbukti. Sebab dalam teologi,
untuk memahami Tuhan, sang author (pengarang)-nya tidak melakukan
pembacaan antara manusia, sebagai makhluk dengan Tuhan, sebagai kholik. Karena
ini memang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia. Manusia dibatasi oleh
kelemahannya sendiri untuk bersapaan secara langsung dengan Tuhan.
Yang
bisa dilakukan dalam teologi ini untuk mengetahui Tuhan sebenarnya hanya
didasarkan pada pembacaan secara kosmologis. Artinya untuk mengurai Tuhan,
author tidak langsung mengetahui dzat yang di sana, namun yang bisa dilakukannya
hanyalah melakukan pembacaan terhadap semua makhluk ciptaan-Nya, yang bisa
dilihat secara wadag.
Keempat, apa yang kita pahami tentang Tuhan, ketika dibincang, akan tetap
selalu berada dalam pijakan yang benar, orsinal dari pewahyuan (teks suci)
dan tidak mungkin mampu dipolitisir manusia nampaknya perlu diuji. Benarkah
pemahaman kita tentang Tuhan itu seperti yang disiratkan oleh al-Qur’an? Dalam
konteks Indonesia, bukankah wacana tentang Tuhan yang digelar selama ini adalah
hasil rasionalisasi golongan Asy’ariah. Produk pemikiran dari golongan ini
nampaknya menjadi wacana dominan yang menjadi muara arus kita dalam membincang
Tuhan. Wacana yang digulirkan ini nyatanya mampu memainkan peranan cukup vital
dalam mendikte otak kita untuk mempersepsi Tuhan, sampai kita juga berani
memberi sifat pada Tuhan. Pola dispersi yang menjadikan pemikiran ini
sebagi rujukan sentral kita di Indonesia ini dapat dibuktikan lewat kitab-kitab
kuning yang umumnya dipelajari ruang pendidikan pondok pesantren, serta
buku-buku yang menjadi materi ajar di ruang institusi formal pendidikan
senyatanya sedemikian kental merujuknya menjadi sandaran yang seakan-akan tanpa
salah. Terlepas dari pola kuasa yang diperagakan wacana ini, namun yang bisa
kita ambil; bahwa wacana tentang Tuhan yang kita tangkap, juga senyatanyanya
lahir dari hasil kreatifitas zaman pertengahan.
Artinya, kalau itu merupakan produk yang diciptakan manusia, maka mengapa itu
tidak diposisikan sama dengan wacana lainnya, yang nantinya siap diperdebatkan
dan diudar serta diurai komposisi kebenarannya.
Dengan demikian ini sekaligus menggugurkan anganan kita tentang adanya nilai
orsinalitas dari wahyu itu, sebagai domain normatifitas. Sebab ia nyatanya
hampir sudah tak terlihat, sehingga untuk membacanya tidak mungkin dilakukan.
Teks suci (wahyu) itu sudah lama terpendam, tertutupi oleh interpretasi yang
mengitarinya.
Kebingungan Studi Agama di Indonesia-Andaian Normativitas
Meski masih menjadi perbincangan yang belum begitu populer, namun Studi Agama di
Indonesia akhir-akhir ini mulai mendapat perhatian. Salah satu tokoh yang paling
getol dan yang paling semangat mengibarkan wacana Studi Agama, salah satunya,
adalah DR. Amin Abdullah. Lewat beberapa karya tulisnya ia mencoba
menghembuskan wacana ini menjadi sebuah kritik terhadap nalar keberagamaan yang
berkembang di Indonesia, sembari menyuguhkan sebuah model baru dalam mendekati
agama.
Pola
yang dipakai, barangkali, adalah model Studi Agama yang berkembang di Barat.
Lahirnya studi agama ini sebagai reaksi dari otoritas gereja yang sudah dianggap
berlebihan dan melampaui batas dalam menerjemahkan pesan ke-Tuhan-an.
Seakan-akan urusan agama senantiasa dan harus seperti yang rumuskan oleh gereja.
Berarti kelahirannya adalah reaksi pembebasan dari dominasi gereja.
Berbeda dengan model kalam, model studi agama yang dilakukan di Barat tidak
semena-mena terpatok pada teks, seperti yang terjadi pada kalam, yang bersifat
tekstualis, literalis, dan skripturalis, sebab hanya mengacu pada wilayah
normativitas (wahyu) belaka, namun ia justru memfokuskan pada wilayah
historisitas (realitas kesejarahan). Sebab pada umumnya normativitas
ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan, dan ditelaah lewat pendekatan
doktrinal-teologis. Maka ini dirasa belum cukup untuk bisa menjawab
kebutuhan dan problem keberagamaan umat manusia. Dari sini dianggap perlu
kiranya untuk melakukan kajian di wilayah historisitas keberagamaan
manusia yang tentu saja harus ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan
sosial-keagamaan yang bersifat multi dan inter-disipliner, baik lewat historis,
filosofis, psikologis, sosiologis, kultural, maupun antropologis.
Di
Indonesia, domain normativitas dan historisitas inilah yang seringkali diusung
dan ditonjolkan dalam setiap tulisan Amin tentang studi agama. Dengan demikian
ia sebenarnya mengikuti gaya Barat, yang lebih berkosentrasi pada sisi
historisitas. Namun ini bukan berarti sempurna, tanpa kritik. Sebab dengan
mengandaikan wilayah normativitas, maka sama artinya Amin masih tetap memakai
pola tradisional (Kalam).
Yang
perlu dipertanyakan lagi, jika dua domain ini masih tetap dipertahankan, maka
kita akan dibikin sibuk untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi keduanya
menjadi dua entitas yang secara tegas bisa dilihat dan dibedakan. Padahal dua
domain itu menjadi sedemikian menyatu dan tak terpisahkan yang bertugas saling
melengkapi.
Setiap usaha menerjemahkan wahyu Tuhan akan senantiasa melibatkan kreatifitas
genius subjek tertentu. Sedangkan kreatifitas itu lahir berdasarkan setting
kondisi yang mengitarinya. Maka apapun yang dihasilkan dalam membreak-down
wahyu, tidak bisa melepaskan dari kondisi ruang dan waktu yang berkembang
saat itu. Sebab perangkat metode yang dibikin untuk membreak-down adalah hasil
dialognya dengan realitas yang berkembang.
Kalau demikian dua domain ini sebenarnya tidak bisa dipisahkan, dalam kondisi
kekinian. Sebab apa yang kita pahami sebagai wilayah normativitas itu senyatanya
tak lepas dari penjamahan subjek yang memaksanya untuk senantiasa kompromi
dengan kondisi yang ada. Maka dengan demikian, dua domain ini, saling
tumpang-tindih, campur-aduk menjalin satu rangkaian yang tidak mungkin lagi bisa
dijelajah untuk memberi demarkasi secara tegas mana yang termasuk sisi
normativitas dan mana yang termasuk sisi historisitas.
Maka
upaya Amin ini sebenarnya hanya akan menuai jalan buntu. Sebab dengan tetap
mencanangkan dua domain itu sebagai wilayah garap untuk men-Studi Agama di
Indonesia adalah usaha yang terlalu bertele-tele dan, bisa jadi, tidak mungkin
bisa di garap.
Mengapa demikian? Sebab pergulatan wacana keagamaan sudah digelar sedemikian
lama, melewati ruang dan waktu yang berganti-ganti. Sedangkan setiap fase
kesejarahan tertentu, atau dalam ruang dan waktu yang sama, selalu melahirkan
sebuah pandangan yang beda dalam memaknai agama. Maka apa yang dikatakan oleh
Michel Foucault menemukan konteksnya. Apa yang sebenarnya dipandang sebagai
wilayah normativitas, nyatanya sudah tertimbun sedemikian oleh interpretasi yang
mengitarinya. Ini yang akan menyulitkan pandangan untuk menemukan domain
tersebut. Kalau demikian tidakkah apa yang kita yakini selama ini sebagai
wilayah normativitas itu adalah sisi historisitas yang mengitari dan menutupinya?
Ini
seperti yang dikatakan Foucault, bahwasanya kita ini hidup ditengah-tengah
tumpukan diskursus. Ribuan, bahkan jutaan produk pemikiran dari ruang dan waktu
tertentu nyatanya masih begitu kuat bercokol, dan selanjutnya yang mengatur dan
mendikte nalar keberagamaan kita.
Selanjutnya, jika masih mengandaikan adanya domain normativitas, maka secara
tidak langsung Amin telah membangun angan-angan dan mimpi tentang orsinalitas
agama. Sebab wilayah normatifitas selalu saja diidentifikasi sebagai sebuah
rujukan yang dijaga akan orsinalitas dan autentisitasnya. Berangkat dari sini,
agama akan selalu dimaknai sebagai ruang yang terjaga kemurniannya. Padahal
kesejarahan tidaklah mungkin diam. Semua pesan ketuhanan akan selalu saja
dimaknai berdasarkan keinginan dan kreatifitas zaman.
Maka
andaian agama sudah final, yang tidak perlu diotak-atik lagi, dan tak akan usang
oleh putaran zaman, tidak lain merupakan bentuk apologi dari masyarakat beragama
itu sendiri. Ketakutan demi ketakutan akan melakukan perubahan senantiasa
terlihat dari pola keberagamaan umumnya. Berbagai penjagaan, terhadap ajaran
agama yang sudah dianggap final, ini dengan melibatkan mekanisme defensif yang
tidak tanggung-tanggung. Berbagai perisai akan dibikin untuk menghantam siapa
pun yang mencoba membaca agama dengan pola beda.
Benarkah agama akan selalu terjaga orisinalitasnya? Jawabannya tentu saja
meragukan. Sebab apa yang dikatakan sebagai entitas normatifitas senyatanya
tidak bisa diuji keabsahannya secara logis menurut ruang kita. Pertanyaanya
kemudian; siapa yang akan dijadikan rujukan untuk memverifikasi ajaran wahyu itu?
Karena ketika harus menyandarkan pada subjek untuk melakukan pemverifikasian,
maka sang pengarang (author)-nya, Tuhan, sudah lama terputus dengan teks suci
al-Qur’an. Al-Qur’an yang menjadi rujukan utama dengan demikian berjalan dengan
sendirinya, membangun realitasnya sendiri, dan bermain dengan ruang yang penuh
pesan dengan sendiri, sebab sang pengendali sudah memasrahkan penuh pada tiap
kesadaran kesejarahan tertentu.
Atau
jika kita mengandaikan sang penerjemah, maka Muhammad sebagai hamba yang dipilih
diberi tugas untuk mengujarkan wahyu itu di muka bumi ini juga sudah sekian lama
putus, meninggal. Hanya sisa pemikirannya yang barangkali tercecer dan mengendap
dalam kesadaran kita. Pemikirannya pun masih sulit diklasifikasi mana yang
termasuk omongan wahyu itu yang benar-benar asli dan mana yang hasil kreatifitas
muhammad sendiri, sebagai makhluk biasa yang juga ikut bermain dalam membuka
kode wahyu untuk mencari pesannya.
Kalau demikian mengapa untuk melakukan studi agama kita akan diributkan dan
dibingungkan dengan wilayah normativitas, yang mengandaikan keaslian ajaran
dogmatika. Sedangkan ruang dan waktu ini sudah beda dan terpaut lama. Maka
tidakkah yang paling mungkin dan menjadi wilayah garap studi agama adalah ruang
historisitas. Sebab wahyu sebagai bentuk pesan Tuhan itu senyatanya selalu
menjadi lawan kencan bagi kreatifitas kesejarahan. Maka tak mungkin lagi di
ruang ada (being) yang sesak dengan tumpukan diskursus ini, kita
melakukan upaya penyibakan terhadapnya untuk menemukan orsinalitas pesan teks
suci.
M. Kodim
(Pimpina Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa EDUKASI IAIN Sunan
Ampel Surabaya)
|