kehidupan kehewanan ditengah keberadaan manusia. Karenanya, mereka harus
dikontrol seperti hewan liar melalui pendisiplinan dan perlakuan kejam
(discipline and brutalizing) : terbelenggu dalam ruang kecil tanpa mekanan yang
memadai, tanpa kehangatan, tanpa penjagaan kebersihan dan pakaian. Dari sini
terlihat jelas batas pergeseran episteme tentang pemaknaan orang gila antara
masa Renaissance dan abad klasik. Bila masyarakat era renaissance menganggap
bahwa kegilaan adalah realitas mitis dan fantastis, maka era klasik menghadapkan
kegilan dengan rasio. Ia dinilai sebagai unreason dan ketakbergunaan
social yang selanjutnya dikurung karena alasan-alasan etis. Dalam banyak hal,
sebagaimana pemaparan diatas, harus dipahami bahwa yang tergolong ‘tidak adanya
rasio’ (unreason) adalah apapun yang dianggap tidak berguna, baik kemalasan,
penyelewengan, ketidakharmonisan social maupun kegilaan sendiri.
Foucault mendemonstrasikan bahwa
kegilaan lebih lanjut dihubungkan dengan wabah menggelisahkan seperti mania-melankolania
dan hysteria-hypochondria. Penyakit itu secara mendasar diasosiasikan dengan
spirit kehewanan (animal spirit), humor fitnah (malignant humors) dan singgungan
yang kasar (delicate nerves); dan akhirnya ia diperlakukan dengan melampaui
batas kemanusIaan di dunia dan selalu dicocokkan sebagai yang kekurangan moral.
Pada masa modern inilah katagorisasi keilmun tentang kegilaan telah melampaui
batas mitos yang dibangun oleh masa klassik. Sebab klasifikasi modern ini tidak
diakibatkan oleh obserfasi empiris yang mengikut pada analisa keilmuan dan
eksplnasi, bahwa citra yang dibangun oleh abad klasik melahirkan esensi kesatuan
yang berproses dari sebuah pertimbangan diagnosis kebenaran. Identifikasi
kegilaan yang ditipikal sebagai penyakit yang menggelisahkan beralih ke dimensi
lain yang menambah kesalahan diskursus. Ia bersemayam ditengah ruang psikologi
positif yang dipengaruhi oleh nilai moralitas tersebut dan retribusinya :
Dalam persoalan ini Foucault
menegaskan : What had been blindness would become unconsiousness, what had
been error would become fault and everything in madness that designed the
paradoxical manifestation of non-being would become the natural punishment of
amoral evil. In short, that whole vertical hierarchy which constituted the
structure of classical madness, from the cycle of material causes to the
transcenden of delirium, would now collapse and spread over the survace of a
domain which psikology and morality would soon occupy together and contest with
each other. The ‘scientific psychiatry of the nineteenh century became possible
[Foucault 1965 : 158].
(Apa yang awalnya merupakan
kebutaan telah menjadi ketidaksadaran, apa yang awalnya merupakan kesalahan
telah menjadi sifat buruk, dan segala sesuatu didalam kegilaan yang menandakan
manifestasi paradoks tentang non-being selanjutnya menjadi hukuman natural dari
kejahatan moral. Singkatnya, keseluruhan hirarkhi vertical yang diatur mengatur
struktur kegilaan klasik, dari putaran sebab material menuju kegilaan yang
trnsenden, sekarang nyatanya runtuh dan beralih begitu saja ke permukaan domain
dimana psykologi dan moralitas berdiam diri disana secara bersama-sama dan
berlomba satu sama lain. Akhirnya, ‘ilmu psychiatry’ menjadi niscaya pada abad
19 [Foucault 1965 :158]).
Konvergensi antara
ketidakteraturan yang menggelisahkan dan penyakit mental selanjutnya melenyapkan
perbedaan antara moral dan phisik. Demikian, dalam diskursus klasik, kegilaan
telah dikonstruksi sebagai kokohnya penggabungan pengalaman tentang unreason
yang mempengaruhi seluruh jaringan tubuh, jiwa dan pikiran. Rasionalitas
sendiri, dengan monopoli kebenarannya, mampu mengalokasi dan mengobati kesakitan
yang menjangkiti seluruh organisme tubuh manusia; dan terapi klasik telah
menempatkan ilmu physiologi, psikologi dan pemeliharaan moral sebagai jaminan
kesembuhan. Dalam masa ini rasio dianggap sebagai satu-satunya jawaban untuk
bagi kegilaan.
Dalam abad modern (berawal sejak
1800) kegilaan menjadi terasosiasi secara eksklusif bersama dengan pemikiran
tentang rasa bersalah dan diobati dengan pendisiplinan dan penderitaan. Bagi
Foucaault : “Medicine has now content to regulate and punish, with means
which had once served to exorcise sin, to dissipate error in the restoration of
madness to the world’s obvious truth” [Foucault 1965 :117]. (pengobatan
sekarang telah mengatur dan memenjara, yang dulu ia menjadi ruang yang melayani
pasien untuk mebebaskan dosa, yang saat ini berfungsi untuk menghilangkan
kesalahan dalam proses pemulihan kegilaan demi satu kebenaran nyata bagi dunia).
Tehnik-tehnik klasik mulai
diterapkan secara mekanis dengan tujuan sebuah pengelolaan moral [Foucault 1965
: 176]: berbagai terapi terhadap rasa takut telah diyakini sebagai sesuatu
untuk menghasilkan kepentingan fisiologis dan psikologis pada abad ke 18; nah
pada abad 19 wacana tentang terapi dikembangkan sebagai penumbuhan rasa takut
sebagai hukuman moral ; In a space so arranged, madness will never again be
able to speak the language of unreason with all that in it transcends the
natural phenomen of disease.It will be entirely enclosed in a phatology. A
transformation which later periods have received as a positive acquisition, the
accession, if not a thruth, at least of what would make the recognition of truth
possible; but wich in the eyes of history must appearas what it was; that is the
reduction of the classical experience of urreason to a stricly moral perseption
of madness, which would secretly serve as a nucleaus for all the concepts that
the nine teenth century would subsequently vindicate as scientific,
positive, and experimental [Fucault 1965 : 196-97].
(Dalam
ruang-ruang yang telah derekayasa sedemikian rupa, kegilaan tiodak akan pernah
mampu berbicara bahasa unreason, dengan kesemuanya dalam satu ruang, hakekat
fenomena penyakit ditransendensi. Hal itu secara keseluruhan akan menyertai
sebuah disiplin patologi. Sebuah transformasi dalam periode selanjutnya telah
menerima masukan yang positif, masukan, jika bukan sebuah kebenaran, setidaknya
apa yang membuat pemahaman ulang tentang
...
(lanjut..)
|
|
Foucault Dan Feminisme-1 |