Tidak ada catatan sejarah mengenai kapan institusi pendidikan pesantren ini
pertama kali muncul di Indonesia, kecuali dikenal dalam
bentuk awalnya pada sekitar Abad Pertengahan. Bentuk-bentuk kelembagaan
pesantren yang lebih modern, sebagaimana dikenal sekarang, tumbuh sekitar
peralihan abad ke-19. Kehidupan pesantren bertumpu pada lima pilar utama, yaitu
masjid, pondok (asrama santri), kiai, santri, dan pengajaran kitab-kitab klasik
atau yang disebut sebagai "kitab kuning."
Dalam kerangka pandang seperti itu pesantren dapat dihargai sebagai wadah
khazanah budaya dan tradisi keilmuan islam. Dunia pesantren dalam berbagai
variasinya merupakan tempat persemaian dan pusat di praktikkannya ilmu-ilmu
keislaman sekaligus sebagai pusat penyebarannya.
Apakah lembaga pesantren merupakan karya budaya yang bersifat indigenous (asli)
Indonesia ataukah model kelembagaan yang diimpor dari mesir sebagaimana yang
diisyaratkan oleh Martin van Bruinessen merupakan persoalan yang tidak perlu
dipersoalkan. Yang jelas peran kelembagaan pesantren dalam meneruskan tradisi
keilmuan Islam klasik sangatlah besar. Ilmu-ilmu Islam yang berporos pada
piramida kalam, Fiqih, dan tasawuf dengan berbagai variasi aksentuasi
pembidangan yang menjadi cirikhas masing-masing pesantren merupakan wilayah
sekaligus media pelestarian dan pengamalan ajaran dan tradisi Islam.
Ambil sebuah contoh, jika santri mempelajari atau mengkaji kitab ihya’ ulumuddin
atau kitab Sullamut taufiq atau taqrib fil fiqh atau minhajul abidin, kemudian
mempraktikkan ajaran-ajaran yang terkandung didalamnya dalam kehidupan
sehari-hari, maka tampak jelas tergambar disitu betapa tali kesinambungan
intelektual Islam klasik masih tampak kokoh dan kental. Dari segi tinjauan
budaya mekanisme pelestarian ajaran-ajaran agama secara turun-temurun adalah
merupakan peristiwa budaya yang sangat mengagumkan banyak pihak. Gambaran
kesinambungan tradisi keilmuan Islam seperti itulah yang dikedepankan oleh
Sayyed Hossen Nashr dalam bukunya Traditional Islam In The World.
Tradisi keilmuan Islam lebih khusus tradisi keilmuan pesantren dianggap sebagai
kekayaan dan kekuatan spiritual yang perlu dipertahankan, tanpa harus
dipertanyakan bagaimana asa-usul tradisi tersebut. Mempertanyakan tradisi
berarti meragukannya, dan bahkan mengingkari wujud tradisi yang selama ini
dipegangi dengan kokoh "membingungkan ummat." Tradisi merupakan sumber kekuatan
mental spiritual yang mahaampuh untuk menahan badai perubahan dan pembangunan
dalam segala bidang. Bentuk piramida pemikiran islam yang meliputi kalam. Fiqih
dan tasawuf adalah bentuk bangunan yang ‘paten,’ yang goiru qabilin li taghyir
wan niqas. Generasi yang ada sekarang tinggal mewarisi begitu saja warisan
intelektual generasi terdahulu, tanpa sikap kritis.
Kutubus sufro mengikuti istilah populer untuk padanan tradisi keilmuan islam
klasik dan tradisi keilmuan pesantren pada umumnya dianggap sebagai ‘produk jadi,’
‘produk instant,’ ‘produk siap pakai,’ sehingga generasi yang datang belakangan
– meskipun wilayah pengalaman keberagamaan mereka jauh lebih kompleks dan subtil
bila dibandingkan dengan generasi sebelumnya—tidak perlu untuk meninjau kembali
rusmusan-rumusan yang telah ada sebelumnya.
Determinasi kultur pesantren di IAIN
Sedikit setelah berputar-putar dan dapat menengok sebentar asap intelektual yang
terus jalin-menjalin diatas dapur pesantren, yang nota bene tidak pernah
mendapatkan akte akademis oleh institusi yang menaunginya (negara misalnya).
Hingga selalu menjadi subkultur yang selalu memutar-mutar sendiri roda tradisi
yang dimilikinya. Ada saudara paling dekat yang tak bisa dihindari pembahasannya
ketika berbicara mengenai pesantren meskipun sebenarnya pola pertautan itu
terlalu mengada-ada dan bukan asas. Yakni IAIN.
Sebuah institusi pendidikan formal milik negara (negeri) yang mahasiswanya
kebanyakan berasal dari pesantren. Hingga kultur pendidikan yang melingkupinya
sering mengalami banyak dilema akibat terpautnya kondisi tradisi keagamaan murni
dengan moralitas dogmatis dan normativitasnya dan kebutuhan menyuguhkan kajian
keilmuan murni.
Meski ada pengembangan disana-sini tradisi keilmuan klasik masih merupakan skala
mayoritas dalam program studi yang dikembangkan di IAIN, dengan alibi
konsep-konsep pengajaran baru yang dianggap memenuhi standard kemodernan. Hal
tersebut sering terangkai dengan alih-alih menjaga moralitas dan normativitas
agama yang menjadi asas tunggal dalam setiap penyajian ilmu pengetahuan. Hingga
mahasiswa masih harus setiap saat, mengikuti alur pemikiran klasik untuk
memenuhi standard akadiemis yang harus dimiliki. Pemenuhan masalah-masalah yang
bersifat transendental spekulatif seperti wacana ketuhanan misalnya, harus terus
mengulang-ulang dan mereprodukasi ulang belantara teologi hasil karya pemikiran
klasik. Anehnya lagi, hal ini ditransformasikan dengan strategi pembeberan dan
penyajian tokoh pemikiran, hingga mahasiswa tak pernah berusaha berani mencoba
menatap inti permasalahan teologi karena masih harus terpaku dengan pemikiran
tokoh yang difigurkan sebagai uswatun hasanah dan disajikan tanpa kritik.
Hingga ada semacam pameo: "nagaji becik ning ojo ngupokoro perkoro kang wus
becik."(belajar boleh asal jangan mengutak-atik hal yang sudah baik). Sebuah
andaian normativitas yang selalu menjadi imaji di tiap-tiap otak, untuk
menampilkan upaya personal dalam membingkai nilai kritiknya dengan garis
determinasi kultur pesantren yang jelas-jelas selalu mengajak kompromis dengan
tatanan tradisi keilmuan islam klasik.
Wilayah pendidikan yang memberikan identifikasi paling besar adalah Fakultas
Tarbiyah, lebih-lebih jurusan Pendidikan Bahasa Arab. hal tersebut dapat
ditengarai dengan munculnya banyak tradisi-tradisi keilmuan klasik yang selalu
direproduksi ulang dalam pembentukan kurikulum dan metodologi pengajaran.
Sebenarnya hal tersebut tidak terlalu menjadi permasalahan kalau kemudian
tradisi keilmuan tersebut di transver dengan mekanisme baru dan dengan obyek
kajian yang lebih bebas. Tapi kenyataannya tidak, penyusunan mata kuliah dengan
spesifikasi pemantapan fak bahasa arab masih belum bisa beranjak dari
metode-metode klasik yang menjemukan dan monotone. Hingga lagi-lagi ada
pernyataan menggelitik :"bedanya belajar gaya sorogan di pesntren dan di IAIN
hanyalah kursi dan alas kakinya."