lepra
menjadi nilai simbolik yang sedemikian besar dan mengakar ke seluruh jaringan
kesadaran manusia eropa abad tengah. Disingkirkannya lepra dari ruang sosial
kemasyarakatan bukan berarti menghilangkan keseluruhan yang berkait dengannya.
Nyata bahwa hilangnya lepra menyisakan struktur-struktur, tata aturan dan nilai
simbolik yang menemaninya selama itu. Dus, nilai simbolik itu membutuhkan “a new
incarnation of disease” (perwujudan penyakit yang baru). Karenanya aturan social
bagi orang lepra berpindah pemaknaan menjadi aturan bagi kriminal, gelandangan
dan kegilaan.
Kita
menuju ruang yang bernama kegilaan. Kegilaan pada dasarnya menjadi ahli waris
dari penyakit kusta. Dalam posisi ini, kegilaan secara kasar benar-benar telah
diasingkan dari masyarakat Renaissance melalui mekanisme baru berujud kapal
‘orang-orang dungu’ atau seringkali dikenal dengan nama ‘Narrenschiff’[ Foucault
1965 :3]. Cara yang ditempuh adalah mengasingkan si gila dengan mengangkut
mereka dan dibuang dari masyarakat sekitar ke tempat lain (baca : perkampungan
gila). Ini sama halnya menciptakan : “Higly symbolic cargoes of madmen
insearch of their reason” [Foucault 1965 : 9]. (Symbol adi luhung tentang
sampan si gila demi sebuah penggeledahan terhadap akal mereka). Namun
bagaimanapun, kegilaan merupakan kualitas mistik dan inspirasi yang tak
terlukiskan dalam pusara abad renaissance, baik dalam literature, seni dam
filsafat. Ia menjadi pertanda beragam karya. Mulai dari percintaan dan hasrat,
menuju hukuman, kebebasan dan kebijaksanaan. Bagi penyair-penyair dan para
filsuf humanistic, kegilaan mempunyai dua sisi sekaligus. Pertama sisi kosmis,
yaitu hubungan dengan alam semesta bahwa kegilaan merupakan realitas yang hadir
dari dunia luar (mistik). Kedua sisi tragis, bahwa ia adalah barang asing yang
dianggap mengganggu masyarakat. Foucault mempelajari suasana ini antara lain
dengan menganalisa kesusasteraan zaman itu seperti karya Erasmuss (Lausstultitiae),
karya Cervantes (Don Quixote) serta karya William Shakespeare (King
Lear).
Menurut Foucault, rekreasi
diskursif dan pemenjaraan secara institusional terhadap kegilaan bermula dari
era klasik (paruh kedua abad 17 sampai sekitar abad 19). Foucault berpendapat
bahwa pemenjaraan besar-besaran (the great confinement) terhadap orang gila
bermula dari didirikannya ‘Hospital general’ di Paris. Hospital General sengaja
tidak didesain secara mendasar sebagai instansi kesehatan (medical
establishment). Sebaliknya ia diciptakan sebagai instansi tat tertib. Foucault
menyebutnya sebagai “a third order of repression” [Foucault 1965 :40] yang
melebihi aparat kepolisian dan pengadilan, untuk memuat sesuatu yang dianggap
‘unreasonable’. Ia diperuntukkan bagi siapapun yang dikatagorikan sebagai
rendahan, tak berguna dan tuna wisma; “penyeleweng, bapak pemboros, anak yang
royal, penghina tuhan, orang yang melecehkan wanita dan tentunya orang gila”
[Foucault 1965 : 65]. Hospital ini menyamai lembaga pendisiplinan eropa barat
yang berbentuk “ Rumah Penjara (house of confinement)” [Foucault : 1965 :65] :
Kesemuanya merupakan wajah dari sebuah kurungan yang mewajibkan penghilangan
skandal; sebagai pemeliharaan aturan social (social order); tahanan setan; dan
pemeliharaan moralitas melalui pekerja (mereka dipekerjakan sebagai manifestasi
kewajiban moral).
Dalam
masa klasik inilah awal dipersandingkannya kegilaan dan rasionalitas secara
diametral. Spirit epistemic demikian dapat dilihat dari bagaimana
pelembagaan-pelembagaan diatas menandai ketakbergunaan kegilaan bersama dengan
kemiskinan, kemalasan yang menunjukkan ketidakharmonisan social (social
disharmony) dibawah naungan dosa besar bernama ‘anti rasionalitas’. Kegilaan
selanjutnya secara sosiologis menjadi lekat dengan pemaksaan dan secara moral
lekat dengan posisi menjijikkan karena ia dipekerjakan tanpa dapat ikut serta
dalam meningkatkan produktifitas buruh. Dengan demikian posisi si gila
benar-benar tertolak, baik diruang social maupun diwilayah moralitas. Domain
pertama menampakkan ketaatan social dan yang kedua dipersepsi sebagai jalan
menuju keselamatan moral, sebagaimana persepsi Foucault : In the classical
age, for the first time, madness was perceived through a condemnation of
idleness and in a social immanence guaranted by the community of labor. This
community acquired an ethical power of segregation, which permitted it to eject,
as into another world, all forms of social uselessness. It was in this other
world encircled by the sacred powers of labor, that madness would assume the
status we now attribute to it [Foucault 1965 : 58].
(Dalam abad klasik, umtuk
pertama kalinya, kegilaan dapat dipahami melalui penghukuman untuk segala
ketakbergunaan melalui tatanan social komunitas buruh. Komunitas ini terbebani
sebuah pemilahan kuasa etis, dimana pemilahan ini menetapkan si gila dan si
waras. Sebagaimana dunia lain yang kesemuanya memuat bentuk-bentuk
ketakbergunaan social. Di dunia lain ini, wujudlah tatanan yang melingkupinya
berupa kekuasaan-kekuasaan suci atas buruh dimana kegilaan harus menanggung
status seperti yang kita labelkan kepadanya saat ini [Foucault 1965 : 58]).
Walaupun kegilaan ikutserta berlomba dalam kerasnya aturan logika, namun ia
gagal menangkap esensi rasio sebab ia tidak dapat memisahkan kebenaran dari
kesalahan ataupun realitas dari mimpi. Kegilaan selanjutnya lebih dipandang
sebagai penyimpangan rasio sebagai kebenaran (baca : rasio sama dengan kebenaran).
Ini berarti bahwa kegilaan menjadi sebuah manifestasi ketiadaan (manifestation
of nothingness). Kurungan akhirnya menjadi respon rasional untuk eliminasi
social bagi para orang gila. Orang gila dalam hal ini ditandai sebagai yang
tidak ada dan dianggap tidak berada (non-being). Being disini
diartikan menjadi berada sebagai anggota masyarakat yang produktif.
Organisasi yang
institusional kemudian dibangun dengan beraras pada paradigma bahwa orang gila
sebagai contoh manusia yang tak ada gunanya dan symbol degradasi moral. Sejak
rasio menempati posisi mulia di sisi kemanusiaan, orang gila tidak diartikan
orang sakit, sebaliknya dimaknai sebagai ‘lebih rendah dari manusia’, ekspresi
....(lanjut..)
|
|
Foucault Dan Feminisme-1 |