MENILIK GLORIFIKASI SEJARAH DALAM EPISTEMOLOGI ISLAM
Mempersepsi Islam, sesungguhnya tidak berbeda dengan
menghadirkan kembali gambaran mitologis masa kenabian dan tarik ulur kuasa
politik abad tengah. Dimana kebenaran dogmatika dikonstruksi, dirajut
kerangkanya, dibangun temboknya untuk kemudian dikukuhkan hasilnya. Bila
demikian, maka dimensi apapun dalam wacana Islam pada dasarnya adalah sisa-sisa
masa lalu. Pengukuhan jejak sejarah itu ternyata hingga saat ini diwarisi oleh
pola pendidikan Islam. Karenanya kritik wacana agama menjadi niscaya ditengah
konstruksi epistemologi yang terpenjara oleh masa lalu.
Pendidikan
Islam tak punya kejelasan para-digmatik. Demikian kira-nya yang terjadi dengan
pendi-dikan Islam saat ini. Lon-taran kritis yang sedemiki-an keras itu tak lagi
asing ditengah sema-ngat zaman yang makin me-ngarah pada nuansa prag-matis.
Geliat kritis atas perkembangan pendidikan Islam ini merupakan akibat responsif
terhadap kelesuan epistemologis yang diidapnya.
Rapuh tidaknya rancang bangun epistemologi pendidikan Islam pada dasarnya dapat
dilihat dari seberapa jauh ia dapat menjadi ruang representatif bagi suburnya
diskursus transformatif realitas kontemporer yang merangsang peserta pendidikan
untuk mencipta, bukan mengulang. Hingga fase ini perguruan tinggi islam, baik
IAIN ataupun STAIN sebagai representasi utamanya, ternyata masih berkutat pada
kerangka lama yang sudah tidak lagi konteks dengan ruang-waktu kontemporer. Hal
ini praktis menyisakan konstruksi pikir mahasiswa yang selalu berputar-putar
pada perdebatan-perdebatan lama pula. Sementara Zeitgeist global yang tak
pernah berjalan mundur memaksa para akademisi untuk selalu responsif terhadap
transformasi masal disemua lini kehidupan.
Sebagai ilustrasi sederhana, wacana teologi (kalam) sebagai salah satu kajian
utama dalam perguruan tinggi Islam dapat dijadikan permisalan. Tenggang waktu
yang demikian jauh, antara abad tengah dengan abad modern seakan tak
mempengaruhi kajian-kajian diskursif perdebatan tentang kalam sendiri. Soal-soal
klasik yang semestinya diperbaharui dan dikritisi, seakan tak bergeming. Tradisi
pemikiran tentang ‘tradisi’ justru semakin menemukan taringnya untuk mendaulat
diri sebagai ‘gharu qaabil linniqash wa attaghyiir’.
Lantaran perdebatan kritis dalam perguliran wacana keagamaan tidak pernah tumbuh
secara wajar, maka pada ujungnya terjadilah stagnasi. Padahal Islam yang saat
ini ada merupakan lapisan-lapisan arsip hasil sejarah beserta tarik-ulur kuasa
konflik politis pada masa lampau. Pemikiran Islam kemudian hanya dianggap
sebagai doktrin suci yang taken for granted. Ia tidak boleh dikupas dan
harus diakui kebenarannya begitu saja tanpa diperlukan kajian dan telaah serius
terhadap latar belakang yang mendorong pemikiran keagamaan tersebut. Walhasil,
hal ini selalu menimbulkan sikap apatis terhadap kritik dan sifat emosional yang
makin lama makin kuat.
Untuk lebih jauh menilik kubang stagnasi dan kerapuhan rancang bangun
epistemologis pendidikan Islam, sejarah dari perspektif kritis sosiologis dengan
mengetengahkan teks yang sengaja dilianglahatkan oleh narasi besar sejarah
Islam, patut dimunculkan kembali. Sehingga sejarah, yang merupakan salah satu
episteme yang menjadi sebab utama pengaruh stagnasi epistemologis pendidikan
Islam, dapat dikritisi dan digelar kembali dengan perspektif baru.
Mengupas sejarah tak harus berpatok pada paradigma lama, dengan merunutnya
secara linier, kronologis dan tanpa kritik. Sebaliknya sejarah harus didekati
layaknya jejak-langkah para pengembara yang berserakan disana-sini tanpa harus
mengubur teks-teks yang kontroversial dengan kuasa dominan. Inilah yang bagi
Foucault dinamakan dengan telaah arkeologis. Biarkan siapapun berbicara atas
perspektifnya masing-masing.
Sejarah Islam; antara Lokalitas dan universalitas
Bila
menengok kembali khazanah histories pemikiran Islam sejak awal munculnya Islam
dengan pengalaman kenabian sebagai tolok ukur keberagamaan, niscaya akan
terlihat bahwa sebenarnya dasar acuan doktrin Islam sangat terikat pada
lokalitas wilayah Arab, baik yang mencakup aspek-aspek material maupun institusi
bangsa Arab ketika itu. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa hal, antar lain;
Pertama, doktrin tentang keyakinan bahwa ada kekuatan absolut yang maha Satu
yaitu Allah. Khalil Abdul Karim, melalui verifikasi sejarah Islam dalam
bukunya ‘Quraisy min al-Qabiilah Ilaa al-Daulah al-Markaziyyah" menunjukkan
bahwa didalam menda’wahkan ketauhidan, Muhammad sebagai pembicara otoritatif
Islam ternyata tidak melakukan babat alas. Sebelum Muhammad menjadi nabi
dan menerima wahyu, para penyair asketik ‘Hanifiyyah’ Arab telah banyak yang
membuat puisi-puisi ‘Tauhid’. Dalam puisi-puisi itu, mereka mendoktrinkan adanya
keyakinan tentang adanya Allah yang Satu, Penyayang, Pengampun, Pencipta langit
dan bumi dan seterusnya. Bahkan tentang janji kubur, siksa kubur, janji surga
dan ancaman neraka.
Hal
ini berarti bahwa, disatu sisi, kaum hanifiyah sebetulnya telah menjalankan
peran peran ‘kerasulan’ dengan merubah kerangka ideologis yang marak di Arab
ketika itu, politeisme, kepada kemurnian tauhid. Di sisi lain, mereka berperan
‘mengarahkan perhatian’ bangsa Arab kepada agama langit yang bukan Yahudi mapun
Nasrani (waktu itu Yahudi dan Nashrani adalah agama impor yang masuk ke bangsa
Arab). Narasi sejarah versi Khalil ini mengatakan bahwa waktu itu (sebelum
Muhammad menjadi rasul, Red) telah tercipta opini publik yang dilegitimasi oleh
orang-orang Ahli kitab dengan keyakinan mitologis bahwa sudah saatnya Allah
menurunkan rasulnya kepada bangsa Arab. Karena itu tidak sedikit dari kaum
hanifiyyah yang berusaha meraih wahyu kenabian tersebut. Untuk itu mereka dengan
sangat ketat menjalankan ‘tradisi ibrahim’ yang hanif, beribadah disekitar
ka’bah, thawaf, beri’tikaf dan bertahannust digua-gua. Bahkan Muhammad muda
diceritakan juga pernah menjadi murid kaum hanifiyyah ini.
Oleh
karena itu ketika Muhammad mendapat wahyu di gua Hira’, beberapa dari kaum
hanifiyyah tidak percaya. Salah satu yang kuat menolak hal itu adalah seorang
hanifiyyah yang alim dan beriman kepada Allah —seperti dikatakan diatas bahwa
kepercayaan tentang Allah Yang Esa telah ada- bernama Umayyah bin Shalt.
Diceritakan oleh Khalil, bahwa Umayyah merasa sudah mendapat enam dari tujuh
tanda kedatangan wahyu. Kurang satu tanda saja ia akan menjadi rasulallah.
Sehingga menurutnya, tidak mungkin Muhammad mendapatkan wahyu sebagai utusan
Tuhan, sebab spiritualitas yang dijalani masih dibawahnya. Ia bahkan merasa
bahwa ini adalah rekayasa Muhammad saja. Didalam sejarah Islam kemudian, posisi
Umayyah menjadi unik, karena ia yang seorang alim dan beriman, justeru tidak
mengikuti agama yang dibawa Muhammad. Sebaliknya, Abu Thalib yang tak beriman
justeru menjadi pendukung utama Muhammad. Jadi, seruan Tauhid Muhammad adalah
bagian dari lokalitas kepercayaan terhadap Allah yang mulanya telah bergaung di
sekitar Makkah, khususnya kaum hanifiyyah.
Kedua, dalam konteks sosio-politik, Khalil menunjukkan ‘bukti’ kuat bahwa
Muhammad SAW adalah seorang Arab yang aktif mengolah mitos "Ratu Adil ala Timur
Tengah kuno’. Mitos disini adalah sebuah narasi besar dari tindakan bersejarah
bangsa Arab untuk mencapai sebentuk kedaulatan politik. Dan mitos itu berbentuk
dua anugerah sekaligus, antara Nubuwah wa al-mulk (kenabian dan kekuasaan).
Sesungguhnya cita-cita untuk menguasai bangsa Arab telah dipancangkan oleh kakek
buyut Muhammad bernama Qushai bin Kilab setelah memegang kunci ka’bah.
Selanjutnya perumusan tata pemerintahan dan ekonomi dilakukan oleh putera dan
cucunya. Bahkan format ‘teokrasi’ yang berpola al-Diin Yuroodhu al Daulah (agama
melahirkan negara) pada dasarnya telah disiapkan oleh kakek Muhammad, Abdul
Muthalib. Ia terinspirasi oleh bangunan epistemology ideologis kerajaan Romawi
dalam suatu kunjungan dagangnya. Disini Muhammad diposisikan sebagai sosok yang
mempunyai dua gelar itu sekaligus.
Dalam kaitan dengan mitos Arab tersebut, Muhammad Ahmad Khalafallah,
dalam disertasinya yang bisa jadi sangat kontroversial, ‘al-Fann al-Qashashi fi
al-Qur’an al-Kariim (Genre sastra kisah didalam Al Quran al Karim), memperkuat
bukti bahwa keberadaan Muhammad dalam tarik ulur kuasa politis Arab ketika itu
sangat erat. Dengan melegitimasi mitos-mitos kisah dalam alqur’an dia mendaulat
diri sebagai utusan Tuhan. Sebab Khalafallah sendiri menunjukkan bahwa mayoritas
kisah-kisah dalam al Quran bukanlah sebuah deskripsi sejarah yang riil, cerita
tentang nabi-nabi misalnya. Sebaliknya kisah kisah tersebut merupakan mitos yang
diciptakan untuk mendorong, menemani, menghibur, mengingatkan, membuka harapan
dan mengarahkan bangsa Arab untuk bergerak bersama dalam melahirkan tatanan
sosial yang lebih baik.
Belum lagi bila memperhatikan paradoksi tarik-ulur psikologis dalam diri
Muhammad, antara kepribadian yang ‘super human’ (menyukai laku prihatin, sangat
peka, toleran, welas asih, penyabar, tidak suka bertikai) dengan keputusan
perang sebagai implikasi dari aspirasi keagamaan dan politik yang dibawanya.
Begitulah kompleksitas dan ketidaksederhanaan posisi kenabian Muhammad di dalam
lokalitas sejarah bangsa Arab. Namun diatas segalanya, Muhammad SAW dengan
seperangkat nilai-lokalitas itu dapat mengantarkan bangsa Arab menuju kemenangan
gemilang dan mengkonstruksi tata nilai masyarakat Arab dan dunia Islam menjadi
sangat kuat. Dia kemudian menjadi sosok pemimpin sekaligus rasul yang
mempersatukan sekaligus menjaga kekuatan infrastruktuktur bangsa Arab.
Setidaknya sejarah kenabian, dari teks-teks kontroversial tersebut diatas yang —meminjam
pola arkeologi Michel Foucault— dikubur oleh kuasa dominan berupa episteme yang
beroperasi diselingkup konstruksi keberagamaan umat Islam saat ini, menjadi
pemahaman bahwa doktrin agama, sesuci apapun klaim doktrin itu, tak harus
dipertahankan dan dikukuhkan tanpa boleh disentuh, dikaji dan dikritisi, sebab
ia tak dapat lepas dari konstruksi lokalitas perkembangan dogmatikalnya.
Sebaliknya ia memerlukan kajian ulang serius untuk memberikan kontekstualisasi
doktrin, apakah ia dapat beriringan dengan zaman ataukah justeru stagnan. Nah
inilah yang saat ini hilang dari daya pikir umat Islam.
Tentunya sepenggal narasi kecil diatas, yang berada diluar nalar para pelajar
Islam saat ini, menjadi sangat menggelisahan. Sebab dipihak lain mereka telah
begitu dalam menancapkan keteguhan iman bahwa Islam beserta seperangkat doktrin
dogmatikalnya adalah ajaran yang ‘Shoolihun Likulli Zaman Wa Makan’ (Universal
disetiap waktu dan tempat). Islam bagi mayoritas muslim adalah nilai yang
orisinal dan otentik yang tak pernah terdistorsi oleh kepentingan apapun.
Pemahaman demikian yang nantinya akan melahirkan adanya dikotomi epistemologis,
antara aspek intuisi dan aspek materi. Aspek intuisi adalah nilai yang berkait
dengan hubungan dengan Sang Khaliq yang pada proses selanjutnya menjadi teologi
(kalam). Ini kemudian dimaknai sebagai aspek normatif. Domain inilah yang
senyatanya tak boleh disentuh (unthouchable). Aspek material keberagamaan
selanjutnya berujud hukum yang meregulasi setiap perilaku beragama umat Islam (Fiqh).
Fiqh sebagai aspek material agama, lebih adaptif terhadap setiap perubahan.
Kendati demikian, ia ternyata tak dapat melepaskan begitu saja pengaruh warisan
lama. Sehingga yang terjadi adalah produk hukum yang sekedar menjadi catatan
kaki dari ulama klasik skolastik.
Sementara keyakinan (teologi) yang diyakini otentik tanpa cacat dan fiqh yang
tak dapat keluar dari hegemoni lama, diwaktu yang sama hampir tidak dapat lepas
dari perlombaan ideologis untuk mendominasi. Konsekwensinya, agama menjadi milik
otoritatif pihak paling berkuasa.
Belum tuntas persoalan diatas disikapi, disisi lain, bila melanjutkan
pengembaraan sejarah, khususnya konteks sosio-historis masa khilafah pasca Rasul,
niscaya akan ditemukan berbagai interpretasi nilai berbeda-beda yang tidak dapat
dilepaskan begitu saja dari kepentingan kekuasaan dan politik dengan berbagai
rasionalisasi, provokasi dan agitasi. Interpretasi nilai keberagamaan masa
klasik itulah yang saat ini mereka warisi, mereka kukuhkan dan mereka jadikan
nilai absolut diatas segalanya.
Syari’at dan Ilmu kalam; Ortodoksi Nalar Islam
Ketika Nabi wafat, para sahabatpun bertengkar tentang siapa yang berhak
menggantikan kepemimpinannya terhadap tata sosial Islam dan atas dasar apa si
pengganti berhak disebut ‘pemimpin Islam’. Terlihat episteme yang mulai berubah,
era yang mulai bergeser. Terdapat suatu diskontinuitas, dari sebuah situasi yang
penuh persatuan dibawah payung otoritas pengikat berupa single figure
nabi, ke sebuah situasi penuh konflik politis untuk berebut klaim kebenaran
sebagai ‘pengganti nabi. Sampai akhirnya terpilih Abu bakar sebagai Khalifatu
Rasulillah melalui kesepakatan yang tidak begitu bulat.
Inilah awal lahirnya ruang ‘epistemologis baru’ untuk benar-benar menghadirkan
sosok pengganti nabi yang otoritatif memegang kebijakan politik sekaligus
kebijakan agama. Banyaknya pihak yang pro-kontra, baik dalam mengukuhkan maupun
melunturkan lembaga kekhalifahan, masing-masing saling berlomba menunjukkan
bahwa klaimnya yang paling benar. Mulai saat itu apa yang disebut ortodoksi,
klaim tentang ajaran yang benar dan murni mulai dikonstruksi dan dibangun. Sejak
itu pula muncul aspirasi pembukuan Alqur’an dan penulisan sabda-sabda nabi yang
nantinya akan dijadikan dasar pijakan berperilaku dan berkeyakinan kaum muslimin.
Inilah yang pada dasarnya disebut Syari’ah.
Ortodoksi pada akhirnya menemukan bentuknya yang sistematis terutama ketika
pasca perang Shiffin dan peristiwa Tahkim di Daumatul jandal. Muawiyah yang pada
waktu itu merupakan musuh politis Ali bin Abi Tholib, mencapai kemenangannya.
Sehingga ia mendirikan kerajaan Islam dibawah panji bani Umayyah. Sejak
kekhalifahan bani Umayyah inilah pengelompokan-pengelompokan politik tidak hanya
menggunakan pedang untuk mengalahkan lawan, tetapi melalui serangan simbolik.
Dengan rumusan-rumusan tertentu terhadap konsep iman (aqidah), masing-masing
kelompok menyerang rival politiknya sebagai kafir. Lahirlah kemudian
kelompok-kelompok keyakinan seperti Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah dan Sunni.
Masing-masing sekte juga mempunyai kelompok-kelompok lebih kecil. Fenomena ini
yang nantinya melahirkan disiplin ilmu kalam sebagai kerangka epistemology umat
dalam mempersepsi Islam.
Sehingga perlu ditegaskan bahwa keyakinan yang diklaim murni dari masing-masing
golongan pada dasarnya berawal dari tarik ulur politis yang berkepanjangan
ditubuh umat Islam untuk mencapai kekuasaan.
Glorifikasi sejarah dalam Pendidikan Islam
Stagnasi bangun epistemologis pemikiran Islam tidak lain disebabkan oleh
kecelakaan sejarah (historical accident) masa klasik skolastik seperti yang
ditipikal oleh Azumardi Azra. Sebab ketika otoritas kekhalifahan bani
Umayyah mulai luntur dan bani Abbasiyah menjadi rezim, paradigma rasionalistik
dari aqidah yang menggunakan penalaran burhani didekonstruksi oleh wacana baru
berupa hukum-hukum fiqh yang menggunakan penalaran bayani. Disini akal yang
awalnya dijadikan pencari kebenaran utama diposisikan menjadi instrumen kedua
setelah teks-teks dogmatikal, baik rujukan secara langsung dari Alqur’an maupun
hadist-hadist nabi yang dianggap shahih.
Seiring dengan pecahnya bani Abbasiyah ke dalam bentuk kerajaan-kerajaan daerah
(muluk Attawaif), disiplin fiqh yang formalistik pun mendapat tandingan dengan
merebaknya sufisme yang berparadigma irfani. Pada saat itulah pergulatan
ortodoksi-ortosoksi besar antara yang perparadigma burhani, bayani dan irfani
saling mempengaruhi, mempersilangkan dan memperlawankan dan menjadi tumpang
tindih.
Dengan demikian, seperti ungkap Jadul Maula dalam salah satu makalahnya
yang disampaikan dalam belajar bersama LkiS, bahwa historiografi pun mengalami
kepenuhannya didalam persaingan untuk turut ‘menghadirkan’ masa kenabian. Dalam
situasi persaingan yang keras dengan ‘masa nabi’ sebagai salah satu basis
legitimasi yang dipertaruhkan, maka tak heran kalau historiografi yang lahir
adalah sebuah praktek glorifikasi.
Sementara itu, bila persaingan-persaingan penguasa untuk memperebutkan kekuasaan
menggunakan legitimasi simbolik sebagai ideologi, maka wajar bila pada saat yang
sama resistensi perlawanan rakyat melahirkan ideologi-ideologi lain, heterodoksi,
dan bid’ah-bid’ah sebagai sumber kekuatan spiritual. Nah, ditengah-tengah
kecamuk persaingan sengit menghadirkan masa kenabian itu, sebaliknya yang
terjadi justeru pengaburan masa lalu. Pengaburan masa kenabian akibat tarik ulur
kuasa ini bahkan sampai pada keadaan yang tidak mungkin dijernihkan lagi.
Lalu
dalam konteks sejarah yang sedemikian kompleks tersebut, posisi teologi yang
saat ini dikukuhkan oleh lembaga pendidikan Islam sebagai manifestasi
epistemologis dengan demikian tak lebih menjadi sisa-sisa tarik ulur kuasa masa
lalu. Sebab ternyata paradigma yang dibangun oleh pendidikan Islam sendiri tak
jauh dari penakaran dan pengusungan secara total pemikiran masa klasik tersebut.
Beban Epistemologis Pendidikan Islam
Posisi sedemikian tinggi yang ditempati oleh corak pikir era klasik-skolastik
seperti yang tergambar dalam uraian diatas lebih berefek pada pengukuhan tradisi
tersebut menjadi semacam disiplin ilmu yang taken for granted.
Disisi lain, kerangka pikir akademis, dengan masuknya disiplin ilmu modern
seakan tak punya penetrasi untuk mengatakan ‘tidak’ terhadap cara analisis
positivistik. Sehingga setiap pengetahuan keagamaan, kalau tidak mengadopsi cara
lama, akan mengidap penyakit positivisme ini. Sebab disiplin ini lebih
memposisikan Islam dan khazanah tradisinya sebagai the other. Karena
menjadi ‘yang lain’, maka Islam hanya dijadikan obyek yang diposisikan
stereo-tipikal. Pelebelan negatif selanjutnya tak dapat lepas dari kerangka
keilmuan ini. Ternyata kedua disiplin ilmu ini, baik pendekatan tradisional
maupun paradigma positivistik, sama-sama menjadi menara gading yang niscaya
diruntuhkan.
Nah,
dalam posisi ini paradigma epistemologis dalam Islam menjadi sangat dilematis.
Dan bila tidak beranjak dari kungkungan disipliner tersebut, akankah
epistemologi pendidikan Islam dibiarkan absurd, baur dan stagnan?
Zainal Lutfi
|