Kaji
Ulang Kebijakan MBS
Oleh PRAYOGA B., S.Pd., dan Drs. SUKMANA
MANAJEMEN Berbasis
Sekolah (MBS) sebagai suatu model manajemen sekolah sekarang ini sedang dalam
taraf diujicobakan. Menurut Depdiknas (2001), MBS merupakan upaya inovasi di
bidang pendidikan yang relatif memadai sebagai suatu pilihan antisipatif dan
sebagai konsekuensi logis dengan diberlakukannya sistem desentralisasi otonomi
daerah, khusunya di dalam bidang pendidikan.
Gagasan otonomi
pendidikan ini semakin mengemuka setelah dikeluarkannya desentralisasi
pengelolaan pendidikan seperti diisyaratkan oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah dan PP No. 25 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah Pusat
dan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Produk hukum tersebut mengisyaratkan
terjadinya pergeseran kewenangan dalam pengelolaan pendidikan dan melahirkan
wacana akuntabilitas pendidikan.
Gagasan otonomi
pendidikan perlu dipahami dengan baik oleh seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder)
penyelenggaraan pendidikan. Karena hal ini tidak sekadar memberi perubahan dalam
kewenangan akademik sekolah dan tantangan pengelolaan sekolah, tapi akan membawa
perubahan pula dalam pola kebijakan dan orientasi partisipasi masyarakat dalam
pembangunan pendidikan.
Desentralisasi
pengelolaan pendidikan menunjukan adanya pelimpahan wewenang dam pengelolaan
pendidikan dari pemerintah pusat ke daerah otonom, yang menempatkan kabupaten/kota
sebagai sentra desentralisasi. Pergeseran kewenangan ini berkaitan erat dengan
konsentrasi perumusan kebijakan dan pengembalian keputusan. Artinya, adanya
wewenang yang diberikan kepada hierarki lebih bawah dalam perumusan kebijakan
dan pengembalian keputusan merupakan ciri pentingnya desentralisasi.
Desentralisasi dalam
tatanan pemerintah mengandung pengertian pula adanya pelimpahan kewenangan
pemerintah kepada masyarakat. Dalam pengelolaan pendidikan di sekolah, ini
berarti adanya pelimpahan wewenang kepada masyarakat atau pihak-pihak yang
berkepentingan dengan pendidikan (stakeholder pendidikan) untuk ikut
serta bertanggung jawab dalam memajukan pendidikan.
Di balik semua itu,
penulis melihat seolah-olah dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi derah (yang
di dalamnya ada otonomi dalam bidang pendidikan), dapat dimaknai sebagai salah
satu tindakan pelepasan tanggung jawab pemerintah pusat terhadap pembangunan
yang dilaksanakan di setiap daerah.
Artinya, pemerintah
menyerahkan hampir semua urusan, baik dari hal keuangan, fasilitas (sarana dan
prasarana), termasuk manajerial di dalamnya kepada daerah. Padahal, menurut
hemat penulis, urusan pendidikan harus diutamakan, disebabkan bentuk dan sistem
pemerintahan macam apapun apabila tidak didukung dengan kesadaran (tingkat
pengetahuan masyarakat) yang memadai maka hasilnya tetap akan ketinggalan.
Realitas pelaksanaan
kebijakan otonomi pendidikan di Jawa Barat hingga saat ini belum mendapat
dukungan yang positif dari pihak masyarakat. Pertama, memandang
kebijakan-kebijakan otonomi pendidikan dan otonomi daerah ini dikeluarkan secara
sepihak, artinya kurang menanggapi aspirasi dari masyarakat secara utuh.
Kedua,
kebijakan-kebijakan otonomi pendidikan untuk masyarakat Jawa Barat ini dirasakan
masih memberatkan masyarakat sebab berimplikasi pada naiknya biaya untuk
menyekolahkan anak-anaknya. Ketiga, kebijakan-kebijakan otonomi
pendidikan ini dimaknai seolah-olah pemerintah sudah kurang bertanggung jawab
lagi terhadap bidang pendidikan yang pada akhirnya membebankan terhadap
masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan secara sendiri-sendiri pada setiap
kota atau kabupaten.
Dalam kaitan ini, Sidi,
2000 (E. Mulyasa, 2000) mengemukakan, 1) upaya meningkatkan mutu pendidikan
dilakukan dengan menetapkan tujuan dan standar kompetensi pendidikan, yaitu
melalui konsensus nasional antara pemerintah dengan seluruh lapisan masyarakat.
2) Peningkatan
efisiensi pengelolaan pendidikan berbasis sekolah, dengan memberi kepercayaan
yang lebih luas kepada sekolah untuk mengoptimalkan sumber daya yang tersedia
demi tersedianya tujuan pendidkan yang diharapkan.
3) Peningkatan
relevansi pendidikan mengarah pada pendidikan berbasis masyarakat. Peningkatan
peran serta orang tua dan masyarakat pada level kebijakan (pengambilan keputusan)
dan level operasional melalui komite (dewan) sekolah.
4) Pemerataan pelayanan
pendidikan mengarah kepada pendidikan yang berkeadilan. Hal ini berkenaan dengan
penerapan formula pembiayaan pendidikan yang adil dan transparan, upaya
pemerataan mutu pendidikan dengan adanya standar kompetisi minimal, serta
pemertaan pelayanan pendidikan bagi siswa pada semua lapisan masyarakat.
Melihat uraian di atas,
daerah berhak, berwenang, berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, otonomi
dalam bidang pendidikan merupakan salah satu upaya pembangunan dari konsepsi
otonomi daerah.
Manajemen berbasis
sekolah merupakan manajemen yang menempatkan kewenangan pengelolaan sekolah
dalam suatu kebutuhan entitas sistem. Di dalamnya terkandung adanya
desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada sekolah untuk membuat keputusan
(ERIC Digest, 1995).
Sebagai suatu institusi
sosial, maka makna pengambilan keputusan hendaknya dilihat pada perspektif peran
sekolah yang sesungguhnya. Oleh karenanya, gagasan MBS sering dipertimbangkan
sebagai upaya memosisikan kembali peran sekolah yang sesungguhnya back to
basic. Dalam konteks ini, maka aspirasi pihak-pihak berkepentingan yang
ditujukan pada peningkatan kinerja sekolah, antara lain direfleksikan pada
rumusan visi, misi, tujuan, dan program-program prioritas sekolah.
Istilah MBS (Manajemen
Berdasarkan Sasaran) pertama kali dipopulerkan sebagai suatu pendekatan terhadap
perencanaan oleh Peter Drucker (1954). Konsepsi MBS ini berkaitan erat dengan
MBO (Manajemen By Objektif), di sini dilakukan proses penentuan tujuan bersama
antara atasan dan bawahan. Manajer tingkat atas bersama-sama dengan manajer
tingkat bawah menentukan tujuan unit kerja agar serasi dengan tujuan organisasi.
MBO menurut Reddin,
1971 (Nanan Fatah 2001) menyebutkan, sistem MBO ini dapat efektif jika
mengandung unsur sebagai berikut: "1) Komitmen pada program, 2) Penentuan
sasaran pada tingkat puncak, 3) Sasaran individu, maksudnya penentuan tujuan
setiap tingkat untuk membantu tiap para karyawan apa yang diharapkan dari mereka,
4) Peran serta aktif pada setiap tingakatan manajer sangat menentukan tercapai
tidaknya sasaran, 5) Otonomi dalam pelaksanaan rencana, artinya setiap individu
memiliki kekuasaan memilih sarana untuk mencapai sasaran, 6) peniali prestasi,
7) keunggulan MBO, 8) Kelemaham MBO, 9) Proses MBO.
Pola manajemen di atas
merupakan suatu sistem yang tidak bisa dipisahkan. Artinya, bersifat
komplementer atau saling melengkapi. Kondisi ini membantu manajer untuk
melakukan tugasnya dan para stakeholders dalam menentukan keseluruhan
sikapnya.
Menurut Iglesias
(1976), maka secara umum persyaratan yang diperlukan bagi pelaksanaan otonomi
daerah adalah (1) Manusia harus cukup dan baik; (2) Keuangan harus cukup dan
baik; (3) Peralatan harus cukup dan baik; (4) Organisasi serta manajemen harus
cukup dan baik.
Dari keempat faktor
tersebut, faktor pendidikan masyarakat bagi pelaksanaan pemerintahan dan
pembangunan merupakan salah satu faktor penting di samping pelaksanaan otonomi
daerah. Oleh karena itu, kebijakan MBS harus memiliki dasar manajemen yang kuat
agar dalam operasionalnya mendapakan kekuatan yuridis, teoretis, dan juga
praktis.
Berdasarkan pandangan
di atas, Soewarno Handayadiningrat (1996) mengatakan bahwa teknik-teknik
pengelolaan manajemen mencakup, a) Organisasi dan metode; b) Sistem Perencanaan,
Pembuatan Program dan Anggaran (SIPPA), yang dikembangkan dari konsep PPBS (Planning,
Programming, and Budgeting System); c) Sistem manajemen informasi; d) Operation
Research; e) Analisis sistem; f) Teknik-teknik perencanaan; g) Teknik-teknik
pengambilan keputusan; h) Statistik; i) Sistem kearsipan; j) Administrasi
material; m) Administrasi perkantoran; n) Ketatausahaan, dan lain-lain.
Penulis
memandang percobaan MBS ini dari sisi manajemen masih sangat jauh dari standar
manajerial. Di samping itu mengenai permasalahan pendidikan secara umum yang
bersangkutan erat dengan pembiayaan pendidikan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh
Nanan Fatah (2002) bahwa sementara ini, pendidikan nasional kita dihadapkan ke
dalam beberapa masalah, antara lain peningkatan kualitas, pemerataan kesempatan,
keterbatasan anggaran yang tersedia dan belum terpenuhi sumber-sumber daya dari
masyarakat scara profesional sesuai dengan prinsip pendidikan sebagai tanggung
jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua.
Masalah
perluasan kesempatan merupakan dampak nyata dalam memberikan tempat dalam
demokrasi pendidikan. Dalam pendidikan nasional kita dihadapkan pada masalah
kualitas dan kuantitas. Saat ini sudah terbuka sekali kelihatan bahwa masalah
kualitas terdesak dengan pola pemikiran kuantitas. Dengan demikian, meskipun
urusan pengelolaan diserahkan kepada daerah, tetapi urusan sarana dan prasarana,
kurikulum (pesan politis) berikut perihal keuangan dan SDM bidang pendidikan
(guru) tetap harus ada dukungan kuat. Bila perlu dukungan penuh dari pemerintah
pusat.
Akhirnya, berdasarkan
alasan di atas, maka terdapat kaitan yang erat antara konsep otonomi daerah
dalam bidang politik dengan bidang otonomi dalam bidang pendidikan. Dalam hal
ini penulis mengharapkan agar rencana penerapan kebijakan manajemen berbasis
sekolah ini perlu dikaji ulang.***