Orang Miskin Dilarang Sekolah ( Oleh: Hizbulloh Huda)

 

Pencapaian wajib belajar 6 tahun dan 9 tahun yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun, sepertinya harus menemui beberapa jalan buntu, setelah maraknya komersialisasi dalam bidang pendidikan dewasa ini. Hampir semua jenjang sekolah negeri, saat ini telah menjadi lembaga komersial.

Kini kita melihat, hampir semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersial. Ketentuan untuk mewajibkan siapa saja yang telah berumur 7 tahun agar masuk sekolah dasar, pada kenyataannya seperti dihalang-halangi karena untuk masuk sekolah dasar pun kini harus membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya.

Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan. Sungguh satu hal yang ironis. Sebab, pada negara yang hampir 60 tahun usianya ini, banyak anak bangsanya akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara-negara yang lain.

 

Menyoal Pelaksanaan MBS

Mahalnya pendidikan di negeri ini, tidak dapat terlepas dari karakter kebijakan pendidikan pemerintah yang terkesan gusra-gusru dan tumpang tindih. Peran sekolah dan anak didik dihadapan kebijakan tersebut, hanya seperti kelinci percobaan bagi kebijakan Menteri Pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan konsep MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Secara politis, penerapan MBS bermula dari usaha pemerintah untuk menjawab kritik terhadap program sentralisasi pendidikan yang telah lama berlangsung.

Mengandaikan kedewasaan sekolah untuk dapat menentukan kebijakan internalnya sendiri, merupakan pengandaiaan yang terlalu muluk-muluk. Karena pelaksanaan MBS di sekolah bermakna lain, untuk melakukan mobilisasi dana, bukan sebagai proses demokratisasi pengambilan keputusan pendidikan. Karena itu, pembentukan Komite Sekolah/Dewan Pendidikan-yang merupakan organ MBS-selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas!

Dengan masuknya unsur pengusaha dalam sekolah, terbentuklah segala pungutan uang yang berkedok "sesuai keputusan Komite Sekolah". Namun, pada tingkat implementasinya tidak transparan karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan kepala sekolah, persis seperti Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3) di masa lalu. Dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap masalah pendidikan warganya. (Darmaningtyas, Kompas, 5/8/2004).

Lengkaplah sudah penderitaan, disaat masyarakat menghadapi krisis moneter yang berkepanjangan, penerapan kebijakan pendidikan semakin mempersulit dan membelit ekonomi warga. Kebutuhan periperal yang sebenarnya jauh dari usaha pencerdasan di sekolah, seperti seragam sekolah, tas, sepatu, buku pelajaran, buku tulis, uang gedung, sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), tabungan, dan sejenisnya, menjadi tanggung jawab masyarakat, dan anehnya tidak dibarengi dengan profesionalisme dari pihak sekolah. Masyarakat di wajibkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam waktu yang hampir bersamaan dan amat singkat. Pihak sekolah hanya memebrikan dalih bahwa kebutuhan tersebut karena berlakunya sistem MBS, jadi semua kebutuhan sekolah harus diusahakan oleh sekolah.

 

Biaya sekolah yang mencekik

Sepertinya, mahalnya biaya pendidikan di negeri ini, sama halnya dengan usaha untuk melarang orang miskin menikmati pendidikan. Bisa di tunjukkan betapa frustasinya para orang tua murid pada saat hari pertama masuk sekolah. Pada hari pertama sekolah, seorang siswa SD harus sudah mempunyai seragam baru, sepatu baru, kaus kaki baru, tas baru yang berisi seluruh buku-buku pelajaran yang masih baru. Kurang lebih, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, orang tua murid harus menanggung biaya sebesar Rp 270.000- Rp 360.000. Untuk pelajar SD, misalnya, paling tidak harus disediakan buku matematika (seharga Rp 25.000), bahasa Indonesia (Rp 15.000), IPA (Rp 15.000), IPS (Rp 15.000). Belum lagi buku-buku yang lain. Paling tidak, untuk keperluan buku-buku pelajaran anak SD diperlukan biaya antara Rp 125.000 hingga Rp 170.000. (Kompas, 5/8/2004)

Sekolahan pun tidak mau ketinggalan, sejak adanya Komite Sekolah sejak diterapkannya MBS, sekolah tidak jauh berbeda dengan pedagang. Masuknya pengusaha dalam Komite Sekolah, mengakibatkan Sekolahan menjadi sebuah pasar yang menuntut untuk dapat memasarkan buku-buku, bahkan kebutuhan periperal yang lain. Dari sini saja dapat dibayangkan betapa kayanya pemegang sekolah saat ini, selain mereka telah mendapatkan bagian tersendiri dari hasil iuran uang gedung dan pendaftaran, mereka juga masih bisa menikmati laba penjualan buku dan perlengkapan lain.

Melihat kasus-kasus di atas, bagaimana mungkin masyarakat yang berpenghasilan rendah, seperti pembantu rumah tangga, kuli bangunan, buruh kasar, dapat menyekolahkan anaknya? Padahal, Pasal 31 Amandemen UUD 1945 Ayat (1) menyatakan, Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, dan Ayat (2) menyatakan, Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Perintah UUD 45 ini diperkuat lagi melalui UU Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang disahkan 11 Juni 2003. Pasal 5 Ayat (1) UU SPN menyebutkan, Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (Pasal 6 Ayat 1), Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi (Pasal 11 Ayat 1), serta Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Pasal 11 Ayat 2).

UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) yang semula diharapkan dapat melindungi warga, ternyata malah mengaburkan hak-hak warga negara untuk memperoleh akses pendidikan dari negara. Pasal 34 Ayat (2) UU No 20 Tahun 2003 menyatakan "Pelaksanaan wajib belajar sembilan tahun tanpa memungut biaya". Namun, bunyi ayat ini dianulir oleh Pasal 46 Ayat (1) yang menyatakan, "Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat".

Mengacu Pasal 31 Amandemen UUD 1945, UU SPN No 20/2003, dan Konvensi Dakkar, pemerintah wajib menyediakan pendidikan bermutu secara gratis kepada setiap warga negara. Secara rinci, Pasal 49 UU SPN No 20/2003 menyatakan, "Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)".

Apabila pemerintah dapat konsisten dengan undang-undangnya sendiri, sangat dimungkinkan usaha untuk menyelenggarakan pendidikan secara geratis dapat direalisasikan. Desentralisasi yang tengah diupayakan pemerintah tidak menjadi senjata makan tuan, karena selama ini sistem MBS senyatanya telah menjadikan sekolahan, seperti raja-raja kecil yang absah untuk memobilisasi dana dari masyarakat, dengan dalih kebutuhan pendidikan sekolah.

Demi usaha itu, pertama-tama pemerintah harus merestrukturisasi biaya pendidikan untuk pendidikan, mendistribusikan dana tersebut kepada sekolah-sekolah, sehingga secara struktural dana dari pemerintah tetap terkucur kesekolah dan sekolah tetap dapat menentukan kebijakan sekolahnya sendiri, seperti landasan fungsional penerapan MBS. Kedua, pemerintah harus lebih mengedepankan kebijakan pendidikan yang dapat mengakomodasi masyarakat kelas bawah, yang artinya, pemerintah harus merumuskan kebijakan pendidikan yang berbiaya sangat murah. Hal ini sebenarnya mudah dilakukan dengan meminimalisir kebutuhan-kebutuhan periperal seperti seragam dan sebagainya, karena kebutuhan tersebut sejatinya tidak ada hubungannya dengan otak dan usaha pencerdasan. Ketiga, pemerintah harus dapat mempercepat laju perekonomian yang dapat dinikmati masyarakat kebanyakan, karena selama ini nikmat perekonomian hanya dapat dinikmati masyarakat yang sudah kaya. Dengan usaha ini kesenjangan antara si miskin dan si kaya dapat di hilangkan, dan pada akhirnya seluruh lapisan masyarakat dengan kemudahan akses ekonomi, dapat menikmati pendidikan.