Jalan Terjal Menuju Otonomi Pendidikan

(Kompas, Selasa, 17 Desember 2002)
 
 
SEPANJANG tahun 2002, wacana otonomi mendominasi isu-isu strategis seputar
pendidikan, terutama untuk jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah
lanjutan tingkat atas (SLTA). Diskursus tersebut berangkat dari semangat

desentralisasi, yang kemudian membuahkan seuntai harapan akan terwujudnya

otonomi pendidikan/sekolah, manajemen berbasis sekolah (MBS), dan kurikulum

berbasis kompetensi (KBK).
 

Wacana otonomi merasuk ke hampir semua ruang publik, termasuk media massa
selaku cermin dari realitas masyarakat. Sejumlah stasiun televisi, dalam
tiga bulan terakhir, setiap hari menayangkan iklan layanan masyarakat
seputar perlunya pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah diyakini sebagai wadah partisipasi dan
tanggung jawab masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan.
 

Sementara itu, setiap kali masalah pendidikan diangkat dalam seminar dan
diskusi, maka hampir pasti permasalahan otonomi menjadi bahasan utama. Para

pembicara tampil membahas otonomi sesuai perspektif kelembagaan dan profesi

masing-masing.
 

Sebagai fasilitator di tingkat pusat, pejabat dari Depdiknas menyampaikan
aspek-aspek regulasi otonomi pendidikan. Pejabat pemerintah daerah (provinsi
maupun kabupaten/kota) mengungkap kesiapan perangkatnya menyambut
desentralisasi pendidikan berikut implikasinya. Sementara para guru dan

kepala sekolah membahas mengenai konsep MBS dan KBK dengan segala
kendalanya.
 

Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah boleh dibilang sebagai kunci utama dalam
penyelengaraan desentralisasi pendidikan. Secara perlahan, peranan
pemerintah pusat dikurangi. Pemerintah pusat menyalurkan dana alokasi umum
(DAU) ke pemerintah kabupaten/kota untuk pembayaran gaji guru. Untuk urusan
pembangunan fisik sekolah dan pengadaan perangkat belajar, termasuk
buku-buku pelajaran, pemerintah pusat pun masih memberikan uluran tangan
lewat dana dekonsentrasi. Akan tetapi, secara bertahap, keterlibatan
pemerintah pusat akan terus menciut, dengan asumsi masyarakat telah dianggap
mampu mengatasi biaya-biaya semacam itu.

 

SESUAI Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,
desentralisasi berupa pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah (baca:
pemerintah kabupaten/kota) merupakan keniscayaan. Sisi moralnya ialah "orang
daerah"-lah yang lebih tahu permasalahan mereka sendiri.
 

Sayangnya, harapan dan kenyataan tidak selalu berjalan beriringan.
Penafsiran yang sempit akan makna otonomi telah melahirkan jalan panjang dan
berliku untuk mewujudkan desentralisasi yang hakiki. Belum apa-apa, di

sejumlah daerah telah muncul tanda-tanda keinginan untuk balik haluan. Tidak
sedikit guru yang seharusnya menjadi garda terdepan praksis pendidikan,
malah kembali ke pola lama: sentralistik. Ini berarti, di jalanan yang

terjal gerbang otonomi bisa tergelincir dari rel.

 

Fenomena itu mungkin hanya bersifat kasuistik. Maksudnya, hanya terjadi di
sejumlah daerah. Belum bisa digeneralisir. Namun, suara "arus balik" itu
lama-lama sampai juga ke kuping pejabat Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas).
 

Staf ahli Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Ace Suryadi PhD dalam
sebuah kesempatan membenarkan hal itu. Dia mengaku telah menangkap gejala

bahwa para guru di sejumlah daerah ingin kembali diurusi pemerintah pusat

(Depdiknas) lantaran pemerintah daerah tidak mengarahkannya menjadi lebih

profesional.

 

Lebih parah lagi, di sebuah provinsi di luar Jawa, kecenderungan bupati/wali

kota berperilaku sebagai "raja-raja kecil" telah mengangkangi otonomi

sekolah. Rentang kendali birokrasi bukannya makin sederhana, tetapi malah

tambah rumit. Pembayaran gaji dan honor kelebihan jam mengajar sering
terlambat dari jadwal karena anggarannya tersangkut pada meja-meja birokrasi
di daerah.
 

Bahkan, untuk kebijakan internal sekalipun, tidak jarang perangkat bupati
dan DPRD ikut campur tangan. Misalnya, untuk memecat siswa yang nakal kepala
sekolah harus berembuk dengan perangkat dinas pendidikan dan DPRD. Kalau
tidak ada koordinasi, kepala sekolah bisa dipersalahkan jika muncul gejolak
sosial sebagai buntut pemecatan itu.

 

Pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah telah menimbulkan ekses
kurang kondusif terhadap pendidikan dasar-menengah. Pendekatan birokratis
yang dulunya diperankan oleh pejabat Depdiknas berpindah ke bupati/wali
kota. Sebagai contoh, para kepala sekolah SD-SLTA harus dilantik oleh
bupati/wali kota atau kepala dinas pendidikan.
 

Prof Dr Sadu Wasistiono, Ketua Komisi Otonomi Daerah pada Asosiasi
Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, dalam sebuah kesempatan menilai, ada
kecenderungan pemerintah kabupaten/kota mengintervensi pengangkatan kepala
sekolah. Sungguh sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan manajemen
berbasis sekolah (MBS).
 

Padahal, konsep MBS pada awalnya dibuat untuk menyeleraskan otonomi daerah
dengan otonomi bidang pendidikan. Dalam hal ini, para guru dan perwakilan
masyarakat di setiap sekolah secara otonom berhak memilih dan mengangkat dan
memberhentikan kepala sekolah berdasarkan kinerjanya. "Konsep MBS memang
ideal, tetapi praktiknya terkacaukan oleh paradigma sempit para birokrasi
soal otonomi daerah," ujar Sadu.
 

Pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah cenderung diartikan sebagai
pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat kepada sosok bupati/wali kota.
Padahal, makna pelimpahan kewenangan tidaklah sesempit itu. Sasaran
pelimpahan tercakup kesatuan hukum, terdiri dari pemerintah kabupaten/kota
dan masyarakat setempat. Dilihat dari jenisnya, kewenangan yang dilimpahkan
mencakup kewenangan pengaturan, pengurusan, pembinaan, serta pengawasan.
 

Ada kecenderungan para bupati/wali kota begitu bersemangat untuk mengurusi
semua bidang, termasuk bidang pendidikan. Namun, semangat mereka tidak

diimbangi dengan kesadaran akan konsekuensi dan tanggung jawabnya. Yang
dikejar adalah kucuran dana dari pusat, tanpa sadar bahwa hal itu punya
konsekuensi yang besar. Kewenangan mengelola pendidikan, misalnya, harus
diikuti upaya menciptakan iklim kondusif untuk pendidikan dasar-menengah.
 

Desentralisasi pendidikan merupakan bagian dari kerangka otonomi daerah yang
berimplikasi pada perimbangan keuangan pusat-daerah, baik dari sisi
pendapatan maupun pengeluaran. Sesuai dengan arah otonomi, sumber pembiayaan

rutin dan pembangunan pendidikan harus bersumber dari Anggaran Pendapatan

dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota.

 

Akan tetapi, minimnya alokasi anggaran pendidikan di daerah merupakan salah

satu bukti lemahnya keberpihakan pemerintah kabupaten/kota dalam bidang

pendidikan. Dari sekitar 370 kabupaten/kota di Indonesia, rata-rata memberi

porsi anggaran sebesar 73 persen untuk belanja rutin pegawai, pejabat, dan

DPRD. Hanya 27 persen untuk pembangunan. Dari total anggaran pembangunan,

bidang pendidikan rata-rata hanya kebagian tiga persen.
 

Keberpihakan ini perlu digarisbawahi karena untuk mengejar ketertinggalan
dari negara lain, Indonesia harus membenahi bidang pendidikan. Laporan UNDP
tahun 2002 menyebutkan, Human Development Index (HDI, index pembangunan
manusia) Indonesia berada pada peringkat 109 dari 174 negara yang diteliti.
 

Melihat kenyataan itu, pantaslah kita menggugat komitmen semua kalangan yang
tadinya menggebu-gebu menuntut desentralisasi. Semua pihak, terutama

pemerintah kabupaten/kota selaku ujung tombak otonomi daerah, perlu

mencermati keadaan riil di lapangan. Jangan sampai eforia otonomi justru
melahirkan ketidakberaturan pada bidang pendidikan.
 

SEJAK dua tahun lalu, pemerintah pusat dan DPR sebetulnya telah menyiapkan
perangkat regulasi tentang desentralisasi pendidikan. Antara lain, UU No
25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas). Dalam Propenas,
desentralisasi pendidikan tidak hanya mencakup jenjang SD-SLTA, tetapi juga
perguruan tinggi negeri melalui apa yang disebut dengan konsep Badan Hukum
Milik Negara (BHMN).
 

Berdasarkan urgensinya, lingkup wewenang penyelenggaraan pendidikan yang
secara prioritas perlu didelegasikan ke daerah adalah pendidikan dasar dan
menengah, mencakup SD, SLTP, dan sekolah menengah umum/kejuruan (SMU/SMK).
Hal ini penting khususnya dalam rangka penuntasan wajib belajar pendidikan
dasar sembilan tahun secara efisien. Pasalnya, penyelenggaraan wajib belajar
sembilan tahun sulit dituntaskan jika hanya mengandalkan pola sentralisasi.

 

Atas pertimbangan itu, untuk jenjang SD-SLTA, Depdiknas pada awal tahun 2002
menindaklanjuti Propenas dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan strategis.
Di antaranya, Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Nomor
044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Selanjutnya
Keputusan Mendiknas Nomor 084/U/2002 tentang Perubahan Sistem Caturwulan
menjadi Semester.
 

Pertengahan tahun 2002, lewat perubahan UUD 1945, negara telah menjamin
bahwa sebanyak 20 persen anggaran belanja pembangunan akan teralokasikan
untuk bidang pendidikan. Di hadapan para bupati/wali kota, Mendiknas Abdul
Malik Fadjar menyerukan agar daerah pun mematok 20 persen anggaran
pembangunan di daerah masing-masing untuk bidang pendidikan.
 

Masih dengan acuan Propenas, pemerintah pusat juga menghapus proyek
perbukuan secara sentralistik. Anggaran perbukuan dilimpahkan ke daerah,
dengan harapan memperkaya muatan lokal, di samping memberdayakan pengarang
dan penerbit buku di daerah. Terakhir, Depdiknas menerbitkan satu lagi

kebijakan untuk mengurangi jumlah mata pelajaran yang diujikan dalam

evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas) pada jenjang SLTP dan SLTA.

 

Enam mata pelajaran yang selama ini diebtanaskan diciutkan menjadi tiga,

yakni Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika. Kebijakan ini

menyusul penghapusan ebtanas SD tahun lalu. Evaluasi hasil belajar mata
pelajaran lainnya diselenggarakan masing-masing sekolah.
 

Di atas kertas, kebijakan tersebut sungguh ideal. Kita berharap, memasuki
tahun 2003, keinginan dan kenyataan tidak terlalu senjang. Jalan panjang,

tidak sepantasnya menjadi alasan.(NASRULLAH NARA)