Pendidikan 1 : Studi Agama di Indonesia dan Mimpi Akan Wilayah Normativitas

Pendidikan 2 : MENILIK GLORIFIKASI SEJARAH DALAM EPISTEMOLOGI ISLAM

Pendidikan 3 : "ngaji becik ning ojo ngupokoro perkoro kang wus becik" 

                       (MENGURAI DETERMINASI KULTUR PESANTREN DI IAIN)

 

Studi Agama di Indonesia dan Mimpi Akan Wilayah Normativitas

Studi Agama yang ditawarkan di Indonesia saat ini masih tetap mengandaikan adanya wilayah normativitas. Padahal, apa yang sebenarnya dipahami sebagai wahyu, tidak lain adalah domain historisitas juga. Sebab sudah sedemikian lama, tiap pengudaran teks suci itu selalu melibatkan totalitas kreatifitas zaman. Maka penyibakan ke arah orsinalitas teks suci adalah usaha yang sia-sia, dan akan menemui jalan buntu.

Mengurai keberadaan IAIN di tanah air bukanlah hal yang mudah. Sebab pergumulan diskursus seputar eksistensinya, yang melibatkan totalitas kreatifitas para pemikir pendidikan Islam, seringkali mandeg di wilayah formulasi strategi. Bongkar-pasang pun kerapkali dilakukan mereka untuk menemukan format jitu, namun hasilnya boleh dibilang nihil.

Kebingungan memilih rancang-bangun sistem pendidikan Islam (IAIN) ini menjadi wajar. Sebab ketika mengurai IAIN tentu saja tidak bisa melepaskan diri dari domain keagamaan (Islam) secara makro. IAIN hanyalah sebuah ruang kecil (mikro) yang diandaikan sebagai medan pergulatan diskursus, pembentukan mental dan sikap, indoktrinasi nilai, dan penanaman ideologi Islam.

Dengan demikian, rumusan konsep apapun tentang IAIN akan selalu dipertautkan dengan bingkai besar keagamaan. Maka bisa dipastikan bahwa semua aktivitas berfikir di institusi formal seperti IAIN adalah pantulan dari cermin besar (keagamaan), yang didalamnya berisikan sekian banyak bungkusan produk pemikiran, yang tidak menutup kemungkinan berbeda bahkan saling kontradiktif. Kesemuanya dihasilkan dari kreatifitas genius subyek dari fase kesejarahannya masing-masing.

Kalau demikian tentu adalah suatu keniscayaan untuk melirik kondisi keberagamaan, khususnya dalam lokal Indonesia, sebelum menentukan platform bagi IAIN. Hal yang pertama-tama harus dikerjakan adalah dipersoalan keilmuan dan pemahaman tentang agama Islam. Apakah benar Islam sudah sedemikian infallibel, yang ditopang dengan kemampuan pemahaman masyarakat dalam menerjemahkan semua pesan Tuhan di muka bumi ini. Ataukah pola keberagamaan manusia masih senantiasa diwarnai oleh sikap apologis, yang dengan serta-merta meyakini tanpa berusaha menyapakannya dengan laju historisitas yang kian cepat. Dan seberapa jauh perkembangan studi agama di Indonesia, serta benarkah studi agama mempunyai sebuah epistemologi dan metodologi yang jelas?

 

Studi Agama di Indonesia-Kritik Epistemologi

Studi Agama di Indonesia nampaknya belum begitu marak dan menjadi arus perbincangan utama dalam dialog keseharian. Hanya segelintir orang atau kelompok yang getol dan agaknya serius membincang tentang Studi Agama. Nalar keberagamaan masyarakat (Islam) Indonesia masih tetap saja berkutat pada pola lama yang diwarisi dari pergulatan masa lampau.

Wacana dominan tentang studi agama yang mengendap dalam pemahaman masyarakat Indonesia tidak lain adalah makna tradisional yang dijumput dari kesadaran abad pertengahan, yang bersumber dari konsepsi teologi/kalam. Wacana kalam ini menjadi sedemikian dominannya dan mengambil peran sentral dalam menerjemahkan pesan Tuhan dan mengatur pola keberagamaan. Apa pun perbincangan untuk mengurai agama harus mengikuti seperangkat tata cara dan mekanisme yang diciptakannya. Sebagai wacana dominan, ia kemudian mengambil posisi sebagai rezim yang paling absah dalam mempresentasikan wacana keagamaan di Indonesia.

Konsepsi ini kemudian sedemikian menyatu dan mengkristal menjadi meta-logika pengetahuan masyarakat. Kesadaran ini tentu saja memposisikan konsepsi kalam/teologi ini tak ubahnya, bahkan mengalahkan dogmatika sendiri. Ia tak tersentuh, dianggap infallible, dan menjadi rujukan yang paling shahih.

Fenomena keberagamaan masyarakat Indonesia yang plural, dan mempunyai warna tradisi berbeda, ini kemudia harus dipaksa tunduk di hadapan kuasa pengetahuan ini, yang masih kental dengan gayanya yang literalis. Dengan demikian ia sekaligus menjadi penghakim bagi beragamnya wacana keagamaan di Indonesia yang coba untuk tumbuh dan berartikulasi.

Padahal kalau menilik lebih jauh tentang konsepsi teologi/kalam adalah disiplin –atau yang selanjutnya disebut Studi Agama- yang dipahami sebagai domain interpretasi teks suci (al-Qur’an) yang dibreak-down oleh kreatifitas subjek sebagai usaha untuk mendekatkan pesan teks itu pada relalitas kesejarahannya. Untuk mempertemukan pesan suci (teks) itu dengan realitas inilah, seperangkat metodologi disusun dan dijadikan patokan dalam membreak-down teks suci itu menjadi sebuah konsepsi

Di wilayah kalam ini model pendekatan yang dipakai masih sedemikian tekstualis. Ini yang seringkali kemudian menegasikan dari domain historisitas kemanusiaan. Sehingga pesan teks suci itu semena-mena dipahami secara saklek dan sedemikian kakunya, yang selanjutnya dibenamkan dalam wilayah antroposentrisme.

Selain itu, ia memiliki masalah disipliner yang serius. Sebab konsepsi teologi/kalam ini senyatanya masih memberi ruang previllage dan sakral pada permasalahan tertentu yang ada dalam dogmatika. Seperti halnya persoalan ke-Tuhan-an yang bagi mereka adalah masalah yang harusnya tidak diperdebatkan dan dijamah oleh nalar kemanusiaan.

Maka untuk menjadi disiplin, ia sebenarnya cacat. Sebab masih mengandaikan ada yang harus disisakan untuk tidak diperdebatkan (unspeakable). Padahal untuk menjadi kebenaran disipliner, setiap persoalan harus siap diperdebatkan, dipertanyakan, bahkan diudar komposisi kebenarannya (speakable).

Lebih parah lagi, manakala masyarakat menjaganya dengan mekanisme defensif (defensife mechanism), dengan memberi perisai yang kokoh terhadapnya. Perisai ini tidak lain adalah logika oposisi binner (binnary-opposition) yang mengandalkan klaim kebenaran (truth claim). Ini sebagai senjata penjagaan yang dipakai untuk menghakimi sederetan usaha yang mencoba memberi tawaran lain selain yang datang dari konsepsi teologi/kalam. Kemudian pada gilirannya ia akan memberangus dari beragamnya wacana yang mencoba muncul dengan gaya yang beda. Pola yang demikian seringkali memancing masyarakat untuk lebih menonjolkan karakter apologisnya dari pada karakter logisnya. Sebab mereka menganggap bahwa konsepsi dari kalam/teologi adalah sebuah jalan final, yang mengandaikan tidak memerlukan lagi usaha untuk menerjemahkannya lagi untuk disesuaikan dengan nalar perkembangan zaman.

Membongkar Domain Previllage

Kalau konsepsi kalam/teologi belum memenuhi syarat menjadi sebuah disipliner, karena masih mengharuskan ada domain previllage yang harus disisakan untuk tidak diperbincangkan dan diudar dalam ruang perdebatan apalagi diurai komposisi kebenarannya, maka pola seperti demikian harusnya tidak semena-mena dipercaya sebagai suatu alat penggali untuk mengembangkan agama. Harus ada pembaharuan. Sebab kalau tetap memakai pola lama ini tentu saja akan menghasilkan sebuah produk yang tidak jauh beda, dan tentu saja akan semakin kehilangan konteksnya, karena tidak pernah ditandaskan pada realitas yang berkembang.

Mengapa men-Studi Agama menjadi perlu? Sebab untuk selalu mengawal nilai universalitas sebuah agama (khususnya Islam) yang diasumsikan untuk bisa menjawab semua problem yang lahir, maka ia menjadi sangat dibutuhkan. Tapi permasalahan tidak terletak pada fungsinya lagi. Kesadaran untuk mengembangkan agama tentu saja sudah lahir sejak agama itu dilahirkan. Namun, kalau kondisi umat beragama masih tetap berkutat pada makna tradisional yang diambil dari konsepsi kalam/teologi, apakah ini cukup representatif untuk menjawab permasalahan keberagamaan saat ini? Tentu saja belum cukup.

Untuk menjawab ini, maka kesadaran masyarakat harus tercipta dulu untuk beranjak dari hal yang normal menuju revolusioner. Dan yang paling pertama harus dibenahi adalah di wilayah epistemologinya. Untuk melakukan ini tentu saja harus berani memposisikan semua permasalahan yang ada dalam agama menjadi hal yang speakable. Dalam tradisi kalam/teologi yang biasanya menjadi ruang unspeakable adalah di domain ke-Tuhan-an. Guna memenuhi syarat sebuah disipliner, maka domain ini harusnya juga diposisikan sama. Mengapa demikian?

Pertama, kalau selama ini domain ke-Tuhan-an kita taruh dalam ruang previllage-tidak perlu diperbincangkan, maka itu sebenar memungkiri dari eksistensi kita sendiri sebagai makhluk ciptaannya. Hubungan antara kholiq dengan makhluk ini tentu saja akan selalu menuntut kita untuk menyapa-Nya. Dengan demikian kita dipaksa mengada dalam payung ke-Tuhan-an.

Kalau demikian siapa yang bisa membendung obsesi eskatologis manusia? Setiap jengkal langkah kita akan selalu dipaksa untuk mempersepsi tentang Tuhan. Nalar pengembaraan untuk mengenali Tuhan telah ada dan mewarnai dalam tiap fase kesejarahan, sejak manusia itu sendiri ada. Bahkan sebelum datangnya Islam, kaum Yunani jauh hari sudah melakukan pengembaraan ini, seperti halnya yang dilakukan oleh Plato, Aristoteles dan lainnya. Ini berarti obsesi eskatologis manusia untuk mempersepsi Tuhan tidak bisa dipungkiri dan dicegah, karena ini adalah bentuk yang dilahirkan dari hubungan yang determinir dengan sang kholiq.

Kedua, ketika membincang tentang agama, maka imaji kita selalu akan tertambat pada dzat Tuhan. Sementara ini perbincangan seputar Tuhan selalu saja kita sisihkan pada pola hubungan vertikal yang berada dalam ruang privasi kita sebagai hamba, dengan menegasikan dimensi sosial. Penalaran demikian seringkali menjebak pada nalar keberagamaan kita untuk membawa agama tidak turun pada realitas kemanusiaan. Selanjutnya agama akan menjadi sesuatu yang mengawang-awang, tanpa pernah dipahami sebagai penjawab dari problem kemanusian. Hal ini tentu saja berlawananan dengan fungsi awal agama.

Padahal Tuhan, sebagai ruh spirit keberagamaan, harusnya dibenamkan dalam nalar antroposentrisme. Sebab peradaban manapun selalu menjadikan Tuhan sebagai sandaran utama manusia dalam melakukan aktivitas beragama.

Ketiga, jika selama ini kita meyakini bahwa teologi adalah ilmu yang mempelajari Tuhan secara langsung, maka itu tidak terbukti. Sebab dalam teologi, untuk memahami Tuhan, sang author (pengarang)-nya tidak melakukan pembacaan antara manusia, sebagai makhluk dengan Tuhan, sebagai kholik. Karena ini memang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia. Manusia dibatasi oleh kelemahannya sendiri untuk bersapaan secara langsung dengan Tuhan.

Yang bisa dilakukan dalam teologi ini untuk mengetahui Tuhan sebenarnya hanya didasarkan pada pembacaan secara kosmologis. Artinya untuk mengurai Tuhan, author tidak langsung mengetahui dzat yang di sana, namun yang bisa dilakukannya hanyalah melakukan pembacaan terhadap semua makhluk ciptaan-Nya, yang bisa dilihat secara wadag.

Keempat, apa yang kita pahami tentang Tuhan, ketika dibincang, akan tetap selalu berada dalam pijakan yang benar, orsinal dari pewahyuan (teks suci) dan tidak mungkin mampu dipolitisir manusia nampaknya perlu diuji. Benarkah pemahaman kita tentang Tuhan itu seperti yang disiratkan oleh al-Qur’an? Dalam konteks Indonesia, bukankah wacana tentang Tuhan yang digelar selama ini adalah hasil rasionalisasi golongan Asy’ariah. Produk pemikiran dari golongan ini nampaknya menjadi wacana dominan yang menjadi muara arus kita dalam membincang Tuhan. Wacana yang digulirkan ini nyatanya mampu memainkan peranan cukup vital dalam mendikte otak kita untuk mempersepsi Tuhan, sampai kita juga berani memberi sifat pada Tuhan. Pola dispersi yang menjadikan pemikiran ini sebagi rujukan sentral kita di Indonesia ini dapat dibuktikan lewat kitab-kitab kuning yang umumnya dipelajari ruang pendidikan pondok pesantren, serta buku-buku yang menjadi materi ajar di ruang institusi formal pendidikan senyatanya sedemikian kental merujuknya menjadi sandaran yang seakan-akan tanpa salah. Terlepas dari pola kuasa yang diperagakan wacana ini, namun yang bisa kita ambil; bahwa wacana tentang Tuhan yang kita tangkap, juga senyatanyanya lahir dari hasil kreatifitas zaman pertengahan.

Artinya, kalau itu merupakan produk yang diciptakan manusia, maka mengapa itu tidak diposisikan sama dengan wacana lainnya, yang nantinya siap diperdebatkan dan diudar serta diurai komposisi kebenarannya.

Dengan demikian ini sekaligus menggugurkan anganan kita tentang adanya nilai orsinalitas dari wahyu itu, sebagai domain normatifitas. Sebab ia nyatanya hampir sudah tak terlihat, sehingga untuk membacanya tidak mungkin dilakukan. Teks suci (wahyu) itu sudah lama terpendam, tertutupi oleh interpretasi yang mengitarinya.

Kebingungan Studi Agama di Indonesia-Andaian Normativitas

Meski masih menjadi perbincangan yang belum begitu populer, namun Studi Agama di Indonesia akhir-akhir ini mulai mendapat perhatian. Salah satu tokoh yang paling getol dan yang paling semangat mengibarkan wacana Studi Agama, salah satunya, adalah DR. Amin Abdullah. Lewat beberapa karya tulisnya ia mencoba menghembuskan wacana ini menjadi sebuah kritik terhadap nalar keberagamaan yang berkembang di Indonesia, sembari menyuguhkan sebuah model baru dalam mendekati agama.

Pola yang dipakai, barangkali, adalah model Studi Agama yang berkembang di Barat. Lahirnya studi agama ini sebagai reaksi dari otoritas gereja yang sudah dianggap berlebihan dan melampaui batas dalam menerjemahkan pesan ke-Tuhan-an. Seakan-akan urusan agama senantiasa dan harus seperti yang rumuskan oleh gereja. Berarti kelahirannya adalah reaksi pembebasan dari dominasi gereja.

Berbeda dengan model kalam, model studi agama yang dilakukan di Barat tidak semena-mena terpatok pada teks, seperti yang terjadi pada kalam, yang bersifat tekstualis, literalis, dan skripturalis, sebab hanya mengacu pada wilayah normativitas (wahyu) belaka, namun ia justru memfokuskan pada wilayah historisitas (realitas kesejarahan). Sebab pada umumnya normativitas ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan, dan ditelaah lewat pendekatan doktrinal-teologis. Maka ini dirasa belum cukup untuk bisa menjawab kebutuhan dan problem keberagamaan umat manusia. Dari sini dianggap perlu kiranya untuk melakukan kajian di wilayah historisitas keberagamaan manusia yang tentu saja harus ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan inter-disipliner, baik lewat historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural, maupun antropologis.

Di Indonesia, domain normativitas dan historisitas inilah yang seringkali diusung dan ditonjolkan dalam setiap tulisan Amin tentang studi agama. Dengan demikian ia sebenarnya mengikuti gaya Barat, yang lebih berkosentrasi pada sisi historisitas. Namun ini bukan berarti sempurna, tanpa kritik. Sebab dengan mengandaikan wilayah normativitas, maka sama artinya Amin masih tetap memakai pola tradisional (Kalam).

Yang perlu dipertanyakan lagi, jika dua domain ini masih tetap dipertahankan, maka kita akan dibikin sibuk untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi keduanya menjadi dua entitas yang secara tegas bisa dilihat dan dibedakan. Padahal dua domain itu menjadi sedemikian menyatu dan tak terpisahkan yang bertugas saling melengkapi.

Setiap usaha menerjemahkan wahyu Tuhan akan senantiasa melibatkan kreatifitas genius subjek tertentu. Sedangkan kreatifitas itu lahir berdasarkan setting kondisi yang mengitarinya. Maka apapun yang dihasilkan dalam membreak-down wahyu, tidak bisa melepaskan dari kondisi ruang dan waktu yang berkembang saat itu. Sebab perangkat metode yang dibikin untuk membreak-down adalah hasil dialognya dengan realitas yang berkembang.

Kalau demikian dua domain ini sebenarnya tidak bisa dipisahkan, dalam kondisi kekinian. Sebab apa yang kita pahami sebagai wilayah normativitas itu senyatanya tak lepas dari penjamahan subjek yang memaksanya untuk senantiasa kompromi dengan kondisi yang ada. Maka dengan demikian, dua domain ini, saling tumpang-tindih, campur-aduk menjalin satu rangkaian yang tidak mungkin lagi bisa dijelajah untuk memberi demarkasi secara tegas mana yang termasuk sisi normativitas dan mana yang termasuk sisi historisitas.

Maka upaya Amin ini sebenarnya hanya akan menuai jalan buntu. Sebab dengan tetap mencanangkan dua domain itu sebagai wilayah garap untuk men-Studi Agama di Indonesia adalah usaha yang terlalu bertele-tele dan, bisa jadi, tidak mungkin bisa di garap.

Mengapa demikian? Sebab pergulatan wacana keagamaan sudah digelar sedemikian lama, melewati ruang dan waktu yang berganti-ganti. Sedangkan setiap fase kesejarahan tertentu, atau dalam ruang dan waktu yang sama, selalu melahirkan sebuah pandangan yang beda dalam memaknai agama. Maka apa yang dikatakan oleh Michel Foucault menemukan konteksnya. Apa yang sebenarnya dipandang sebagai wilayah normativitas, nyatanya sudah tertimbun sedemikian oleh interpretasi yang mengitarinya. Ini yang akan menyulitkan pandangan untuk menemukan domain tersebut. Kalau demikian tidakkah apa yang kita yakini selama ini sebagai wilayah normativitas itu adalah sisi historisitas yang mengitari dan menutupinya?

Ini seperti yang dikatakan Foucault, bahwasanya kita ini hidup ditengah-tengah tumpukan diskursus. Ribuan, bahkan jutaan produk pemikiran dari ruang dan waktu tertentu nyatanya masih begitu kuat bercokol, dan selanjutnya yang mengatur dan mendikte nalar keberagamaan kita.

Selanjutnya, jika masih mengandaikan adanya domain normativitas, maka secara tidak langsung Amin telah membangun angan-angan dan mimpi tentang orsinalitas agama. Sebab wilayah normatifitas selalu saja diidentifikasi sebagai sebuah rujukan yang dijaga akan orsinalitas dan autentisitasnya. Berangkat dari sini, agama akan selalu dimaknai sebagai ruang yang terjaga kemurniannya. Padahal kesejarahan tidaklah mungkin diam. Semua pesan ketuhanan akan selalu saja dimaknai berdasarkan keinginan dan kreatifitas zaman.

Maka andaian agama sudah final, yang tidak perlu diotak-atik lagi, dan tak akan usang oleh putaran zaman, tidak lain merupakan bentuk apologi dari masyarakat beragama itu sendiri. Ketakutan demi ketakutan akan melakukan perubahan senantiasa terlihat dari pola keberagamaan umumnya. Berbagai penjagaan, terhadap ajaran agama yang sudah dianggap final, ini dengan melibatkan mekanisme defensif yang tidak tanggung-tanggung. Berbagai perisai akan dibikin untuk menghantam siapa pun yang mencoba membaca agama dengan pola beda.

Benarkah agama akan selalu terjaga orisinalitasnya? Jawabannya tentu saja meragukan. Sebab apa yang dikatakan sebagai entitas normatifitas senyatanya tidak bisa diuji keabsahannya secara logis menurut ruang kita. Pertanyaanya kemudian; siapa yang akan dijadikan rujukan untuk memverifikasi ajaran wahyu itu? Karena ketika harus menyandarkan pada subjek untuk melakukan pemverifikasian, maka sang pengarang (author)-nya, Tuhan, sudah lama terputus dengan teks suci al-Qur’an. Al-Qur’an yang menjadi rujukan utama dengan demikian berjalan dengan sendirinya, membangun realitasnya sendiri, dan bermain dengan ruang yang penuh pesan dengan sendiri, sebab sang pengendali sudah memasrahkan penuh pada tiap kesadaran kesejarahan tertentu.

Atau jika kita mengandaikan sang penerjemah, maka Muhammad sebagai hamba yang dipilih diberi tugas untuk mengujarkan wahyu itu di muka bumi ini juga sudah sekian lama putus, meninggal. Hanya sisa pemikirannya yang barangkali tercecer dan mengendap dalam kesadaran kita. Pemikirannya pun masih sulit diklasifikasi mana yang termasuk omongan wahyu itu yang benar-benar asli dan mana yang hasil kreatifitas muhammad sendiri, sebagai makhluk biasa yang juga ikut bermain dalam membuka kode wahyu untuk mencari pesannya.

Kalau demikian mengapa untuk melakukan studi agama kita akan diributkan dan dibingungkan dengan wilayah normativitas, yang mengandaikan keaslian ajaran dogmatika. Sedangkan ruang dan waktu ini sudah beda dan terpaut lama. Maka tidakkah yang paling mungkin dan menjadi wilayah garap studi agama adalah ruang historisitas. Sebab wahyu sebagai bentuk pesan Tuhan itu senyatanya selalu menjadi lawan kencan bagi kreatifitas kesejarahan. Maka tak mungkin lagi di ruang ada (being) yang sesak dengan tumpukan diskursus ini, kita melakukan upaya penyibakan terhadapnya untuk menemukan orsinalitas pesan teks suci.

 

M. Kodim (Pimpina Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa EDUKASI IAIN Sunan Ampel Surabaya)