“Istighotsah Kubro,” Kado Tradisi Religius Untuk Meretas Keterpurukan Bangsa*

(Menyongsong pelaksanaan Istighotsah Nasional di lapangan Makodam V Brawijaya Surabaya 9 Maret 2003)

Secara lughawi, istilah istighatsah berarti meminta pertolongan kepada Allah. Secara bebas dapat diartikan bahwa istigotsah adalah sebuah ritual yang dikerjakan secara bersamaan untuk memohon kepada Allah agar terhindar dari marabahaya, dan cobaan yang sedang berlangsung pada saat tertentu. Disertai dengan bacaan doa-doa tertentu yang merupakan doa khusus dibaca ketika melakukan istighotsah, disertai dengan kalimah-kalimah thoyyibah, asmaul husna dan surat-surat dalam Al Quran. Tradisi istighotsah merupakan tradisi yang sudah turun temurun sebagai warisan para wali.

***

 Mencoba merefleksi sebentar kepongahan yang terus terjadi dalam otak kita. Mengapa sampai saat ini kita masih saja tetap dalam keterpurukan yang akut, hingga menerobos batas-batas kenormalan. Poros politik masih centang perenang, kehidupan perekonomian jatuh hingga ambang batas fluktuasi. Sementara kita masih ber leha-leha seakan tidak mau tahu dengan kehidupan bangsa yang sedang terpuruk. Atau pura-pura tidak mau tahu.

Coba kita tengok sebentar, terlalu berharap dengan akan membaiknya keadaan dengan diadakannya pemilu, ternyata pemilu tidak melahirkan kekuatan mayoritas yang secara hukum dan politik memiliki kekuatan mengambil keputusan yang decisive. Pemenang pemilu hanya mendapat suara 33 %, sehingga semua langkahnya harus berdasar kompromi. Kompromi inilah, baik di bidang eksekutif maupun legislatif, yang mengakibatkan munculnya kelemahan di berbagai bidang seperti penegakan hukum dan pemulihan ekonomi. Mencoba menceburkan dalam upaya reformasi yang kelihatannya cukup modis, ternyata reformasi yang digulirkan sebagai antitesa terhadap sistem Orde Baru belum mendapatkan visi yang disepakati pihak-pihak yang melakukan reformasi itu sendiri. Akibatnya, dalam waktu singkat terjadi pertikaian di antara kaum reformis sendiri yang mengakibatkan mandeknya reformasi. Yang mengemuka justru semangat untuk bebas dan agar masing-masing tidak “ketinggalan kereta.”

Diakui atau tidak, Indonesia telah terkena kerusakan moral cukup parah. Tidak cuma moral atau etika perorangan, tapi juga moral kebangsaan.  Kita tahu, tidaklah akan kokoh sistem yang dibangun di atas moral yang rusak. Dan karena moral sudah rusak, hukum pun akan lemah, politik tidak tak aspiratif dan produktif untuk menghasilkan kesejahteraan masyarakat. Ekonomi pun tidak akan berjalan di atas moral ekonomi, tapi di atas perebutan ekonomi. Demikian seterusnya.

Masyarakat Indonesia yang terkenal dengan masyarakat bermoral, sebenarnya masih banyak menyimpan potensi untuk dapat berusaha keluar dari krisis multidimensional seperti ini. Hanya aspirasi mereka saja yang tidak cukup terwadahi oleh lembaga perwakilan kita, sehingga usaha untuk keluar dari krisis multi dimensional ini hanyalah seperti bertepuk sebelah tangan, sedangkan lembaga yang mempunyai polecy hanya bisa berdebat tanpa membuahkan usaha riil. Pada bagian yang lain masyarakatlah yang sebenarnya menjadi bagian yang paling merasakan kepahitan dan keterpurukan dari krisis multidimensional ini. Pejabat negara berasyik masyuk dengan urusan duniawi serta memperdebatkan kepentingan mereka sementara masyarakat yang mempunyai tingkat perekonomian rendah semakin terpuruk sebagai imbas dari perdebatan para pejabat dan orang-orang ber’uang’.

Kultur yang selama ini terbangun dari aras masyarakat kita, seharusnya dapat menjadi medium yang penting sebagai usaha untuk merefleksi kembali, mengapa krisis multi dimensional yang diderita bangsa ini semakin lama-semakin akut dan menuju keterpurukan yang nyata. Kultur masyarakat yang sebenarnya menjadi bagian yang paling potensial untuk dapat berkomunikasi-langsung dengan masyarakat seharusnya menjadi pilihan yang tepat untuk saat ini agar bangsa ini mengetahui apa dan bagaimana keinginan rakyatnya.

Karena badan perwakilan kita tidak mempunyai mekanisme untuk dapat berkomunikasi secara langsung kepada masyarakat, maka sebenarnya ini adalah momentum bagi organisasi masyarakat untuk mencoba mewadahi aspirasi mereka. Karena hanya organisasi masyarakatlah yang bisa berkomunikasi dan mempunyai massa riil.

Usaha yang digalang oleh Nahdlatul Ulama dengan mengadakan perhelatan besar “Istighotsah Kubro” di Lapangan Makodam Brawijaya, merupakan sebuah usaha yang perlu mendapatkan dukungan dari banyak pihak. Karena perhelatan tersebut benar-benar merupakan sebuah tradisi keagamaan dan kemasyarakatan untuk melakukan doa bersama dan meminta pertolongan kepada Allah SWT ketika  bangsa mendapatkan berbagai cobaan. Dimana masyarakat berduyun-duyun mengikuti ritual tersebut untuk bersama-sama melakukan introspeksi diri (muhasabah) dan pertaubatan (taubah) baik secara pribadi maupun kolektif.

 Meski hanya berlatar tradisi religius, namun usaha tersebut cukup mempunyai kekuatan untuk dapat mengadakan kontak langsung kepada masyarakat, dengan mencoba melahirkan usaha-usaha serius yang tidak hanya muncul dari pengurus NU, namun juga muncul dari tiap-tiap kepala yang telah bersama-sama merefleksi diri dalam ritual tersebut untuk dapat mencari jalan keluar dari krisis multi dimensional. Karena bagaimanapun, keadaan seseorang, organisasi, bahkan negara tidak akan dapat berubah kecuali ada usaha untuk mengubahnya.

Seperti yang pernah dilakukan oleh Alexander the Great ketika mengadakan perluasan wilayahnya kedaerah lain, salahsatu kunci yang selalu membuatnya berhasil dan dapat diterima oleh rakyatnya di daerah yang didapatkannya adalah mengikuti tradisi baik yang ada kemudian mengelaborasikannya dengan kepentingan bersama menuju tatanan pemerintahan yang baik. Sehingga tak heran bila di daerah yang telah dikuasainya, ia tetap menjadi seorang pimpina yang diterima.

Selain merupakan tradisi yang efektif dijadikan mediasi keterwakilan rakyat dan pemimpinnya, istighotsah bahkan juga dapat meningkatkan persatuan keislaman (ukhuwwah islamiyyah), persatuan kebangsaan (ukhuwwah wathoniyah) dan persatuan kemanusiaan (ukhuwwah basyariyah)  dalam diri masyarakat, yang bisa meningkatkan rasa patriotrisme masyarakat yang selama ini semakin hilang akibat hilangnya kepercayaan rakyat kepada pemimpinnya. Semakin besar rasa patriotisme pada rakyat akan semakin terjunjung pula martabat negara.

Upaya melakuakan ukhuwwah wathoniyah dalam hubungan negara dan masyarakat, seharusnya menjadi bagian dari tiap-tiap organ yang ada di negeri ini. Karena tanpa usaha tersebut, konflik politik akan terus berlanjut seiring dengan berbedanya agenda dan kepentingan. Namun seringkali hal tersebut tidak dapat terealisasi karena tidak pada kenyataannya negara seperti sebuah menara gading yang berdiri tinggi menjulang dan tidak dapat melebur dengan masyarakat. Satu-satunya jalan agar dapat melebur dengan masyarakat adalah mengikuti tradisi yang sudah ada dalam masyarakat dan mencoba mencari hikmahnya untuk mendapatkan jalan keluar dari segala kesulitan yang dihadapi.

Jadi,  dalam upaya meretas segala kesulitan yang selalu menghadang perjalanan negeri ini, tidak berarti harus dengan usaha-usaha yang bersifat politis, yang justru pada akhirnya hanya berupa perdebatan panjang tanpa solusi dan malah berbuntut pada terabaikannya kepentingan rakyat. Misal, saat ini rakyat butuh layanan listrik, telepon dan bahan bakar yang murah,  kenyataannya  tarif ketiganya malah dinaikkan. Semuanya justru mencekik  rakyat. Dalam hal ini, dalam hati rakyat bergumam, harga apa lagi setelah ini yang akan naik?

Pun pula, tragedi nasional yang melanda negeri ini sudah nyata didepan mata sebagai azab yang diberikan Allah kepada negeri ini, bencana alam, banjir melanda sebagian besar wilayah RI, kebakaran terjadi di mana-mana, pertikaian antar golongan belum mereda, bahkan yang paling mutaakhir guncangan bom bali merupakan ujian yang benar-benar berat yang diterima negeri ini. Upaya untuk menghadapinya tidak bisa hanya dengan mengandalkan usaha-usaha yang formal kemanusiaan, tapi harus dengan bantuan Allah SWT, yang memang merupakan pengusasa dari segala pnguasa.

 Melalui media istighotsah, paling tidak masyarakat dapat mengeluarkan segala unek-uneknya, dapat melakukan refleksi diri dan mempunyai pengharapan lebih disertai dengan usaha bersama untuk bisa keluar dari krisis multidimensional. Tanpa melupakan bahwa pemerintahpun harus lebih intensif untuk dapat mengakomodir tiap-tiap kebutuhan masyarakat dan lebih berfokus kepada kepentingan rakyat daripada kepentingan golongan. Sebagai perwujudan dari pemerintahan yang ideal dan berpihak kepada rakyat.

Hizbulloh Huda (Seng duwe situs pek-pek)