kebenaran menjadi mungkin ; tapi kacamata sejarah seperti apa kemunculannya dapat dikenali sebagaimana adanya dulu; yaitu reduksi pengalaman klasik tentang unreason pada sebuah persepsi moral yang ketat dari kegilaan. Yang secara rahasia mengabdi sebagai inti semua konsep yang pada abad 19 selanjutnya bertahan sebagai kaidah ilmiyah, positif dan eksperimental [Fucault 1965 : 196-97]).

Dari sini, menurut Foucault, ‘psiciatry ilmiyah’ yang muncul pada abad 19 bersandingan dengan moralitas dan perlakuan ilmiyah terhadap yang gila muncul melalui pengurungan. Kritik politis yang diajukan untuk melawan pengurungan justeru hanya memperkuat asosiasi pengurungan sendiri dengan kegilaan. Sebab protes itu hanya dibatasi pada penyelenggaraan kurungan khusus untuk populasi kriminal dan kegilaan (padahal protes itu harusnya dilabelkan untuk buruh produktif). Sementara tidak ada protes yang dialamatkan untuk kurungan yang diterapkan bagi kegilaan. Dengan demikian kegilaan menjadi representasi esensial pemberlakuan kurungan, sehingga kurungan telah kehilangan berbagai makna dan kegunaan lain kecuali diperuntukkan untuk populasi kriminal dan kegilaan saja, selain itu tidak. Secara paradoks, kegilaan akhirnya tampil sebagai satu-satunya alas an bagi pemberlakuan kurungan yang mempunyai simbolisasi unreason sangat besar.  Seperti ungkap Foucault, “By a paradoxical circle, madness finally appears as the only reason for confinement whose profound unreason it symbolizes”.

Serangkaian proyek ilmiyah dalam abad 19 selanjutnya adalah membebaskan (melokalisir) gila ke sebuah kUngkungan yang steril bernama asylum. Mekanisme kekuasaan seperti itu, dalam prosesnya telah menanam represifitas yang lebih daripada belenggu masa lalu.

Dalam deskripsi Foucault, asyilum difungsikan sebagai instrumen pemisahan moral yang menggunakan rasa takut sebagai pedoman prinsipilmya.premis ilmiyah tentang kemudian merepresentasi homogenitas “continuity of social morality”. [Foucault 1965 :257]. Kesalahan dengan demikian tidak dihukum namun diorganisir sebagai keinsafan diri dan sebagai pengendalian (pengekangan) diri melalui internalisasi norma-norma sosial dalam ungkapan kebersalahan yang rasional. Dalam hal ini ia mengatakan : Madness escaped from the arbitrary only in order to enter a kind of enless trial in which the asylum furnished simultaneously police magistrates torturers; a trial whereby any transgression in life, by a virtue proper to life in asylum, becomes a social crime, observed, condemned and punished; a trial which has no outcome but in a perpetual recommencementin the internalized form of remorse…. The asylum of the ages of positifism …..is no afre realm of observation, diagnosis and therapeutics; it is the juridical space where one is accused, judged, and condemned, and from which one is never released axcept by the version of this trial in psychological depth –that is by remorse [Foucault 1965 : 269].

(Terbebasnya kegilaan dari keterkungkungan pada dasarnya hanya untuk masuk ke dalam kubang berbagai percobaan yang tak pernah habis, dimana asylum secara serentak diperangkati dengan polisi, hakim dan penyiksa; sebuah percobaan dimana berbagai pelanggaran hidup, dengan nilai kebajikannya yang dianggap pantas dalam asylum, menjadi kejahatan social, pematuhan, penghukuman dan pemenjaraan; sebuah percobaan yang tidak mempunyai efek apapun kecuali dalam keadaan yang terus-menerus secara berulang-ulang memuat bentuk-bentuk penyesalan yang mendalam …….Sebuah asylum yang terpatri ditengah abad positifisme… ini bukanlah alam yang bebas bagi observasi, diagnosis dan terapi : ini lebih merupakan ruang hukuman dimana seseorang dipersalahkan, divonis dan dihukum dan ruang dimana orang tak pernah dibebaskan kecuali dengan kedalaman psikologi sebagai versi dari percobaan ini –tentunya dengan bentuk penyesalan. [Foucault 1965 :269]). Walaupun operasional ayulum ditopang oleh prinsip tentang keteraturan social dan moralitas, tak terelakkan, etika ilmiyahnya memuncak menjadi kreasi yang diidealkan sebagai “medical personage” [Foucault 1965 :269]. Namun dalam bersoalan ini, sekali lagi, kekuasaan seorang dokter memperoleh otoritas moral lebih besar dari pada ilmu pengetahuan.

Lebih jauh Foucault mengurai : If the medical profession is required, it is as a juridical and moral guarantee, not in the name of science… For the medical enterprise is only a part of an enormous moral task that must be accomplished at the asylum, and which alone can ensure the cure of the insane….The physician could exercise the absolute authority in the world of the asylum omly insofar as, from the beginning, he was Father and judge. Family and law –his medical pragtise being for along time no more than a co,plement to the old rites of order, Authority and punishment [Foucault 1965 : 270,272].

(Jika profesi medis dibutuhkan, ia hanya menjadi jaminan hukum dan moral, tidak sebagai sebagai sesuatu yang mengatasnamakan ilmu…. Usaha pengobatan hanya menjadi bagian dari tugas yang sangat besar dari moral yang melengkapi perangkat asylum, yang dengan sendirinya dapat memastikan kesembuhan kegilaan….. Dokter kemudian menjalankan otoritas absolutnya. Ujung-ujungnya, sejak awal si dokter menjelmakan diri sebagai bapak dan hakim, keluarga dan pengadilan –dalam waktu yang panjang pengobatannya beroperasi tidak lebih menjadi penopang (bagian) dari tatacara lama sebagai tata tertib penguasaan dan hukuman)

Dalam madness and civilization, Foucault berargumentasi bahwa psykologi modern dibangun sebagai hasil dari diskursus rasional, yang mengkonstruki kegilaan sebagai permulaan kebiasaan patologis yang menyimpang dari bangunan moral dan norma-norma sosial. Mekanisme kekuasaan dari abad klasik diperhalus dan dibangun menjadi tehnologi penghilangan kekuasaan dan isolasi dalam abad modern. Dalam arti bahwa diskursus ilmiyah dari psykologi modern benar-benar mengisolasi kegilaan menjadi sebuah kesalahan dan karenanya disiplin ini lebih atomis dan ...LANJUT