Fungsionalisme Struktural Sebagai Sistem Dalam Domain Sosial

Dorongan yang besar bagi perkembangan fungsionalisme datang dari penerbitan karya Talcott Parsons [1902-1978], The strucrur of social action [1957] [stuktur tindakan sosial], Ahli sosiologi yang besar ini telah belajar di Jerman, dan didalam kaarya besarnya yang pertama ia mencoba mengintegrasikan gagasan-gagasan Durkheim, Weber, Pareto, dan juga gagasan-gagasan ahli ekonomi Inggris T.H. Marshall, menjadi satu teori tindakan sosial. Teori ini dengan jelas memberi tekanan kepada fungsionalisme yang dalam tahun-tahun kemudian akan menjadi  lebih kuat.[1]

Menurut Parsons, ide mnegenai kehidupan sosial sebagai suatu sistem –suatu jaringan dari bagian yang berbeda-beda—menjelaskan bagian struktural dari label fungsionalis struktural yang selalu dikaitkan dengan karyanya. Lebih lanjut, analogi mengenai sebuah sistem menjelaskan bagian “fungsionalis”nya. Jkalau kita menyebut tubuh manusia sebagai suatu sistem, hal itu bisa dilihat sebagai sesuatu yang memiliki kebutuhan-kebutuhan tertentu, misalnya kebutuhan makanan dan sejumlah bagian-bagian yang saling berhubungan (sistem pencernaan, perut, intesines, dan lain-lain) yang fungsinya adalah menemukan kebutuhan-kebutuhan itu. sistem sosial dari tindakan dilihat oleh Parson sebagai sesuatu yang mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi kalau mau hidup dan sejumlah bagian-bagian yanbg berfungsi untuk menemukan kebutuhan-kebutuhan itu. semua sistem yang hidup dilihat sebagai sesuatu yang cenderung mengarah kepada keseimbangan, suatu hubungan yang stabil dan seimbang antara bagian-bagian yang terpisah dan mempertahankan dirinya secara terpisah dari sistem-sistem lain.

Ada sebuah tradisi dalam pemikiran sosiologi yang lazim disebut fungsionalisme ‘fungsionalisme struktur, analisis fungsionalis. Kebaikan yang bersifat relatif dari tradisi fungsionalisme bukan hanya diperdebatkan tetapi juga sering mendapat kritik mendasar yang merusakkan. Walaupun demikian, tradisi tersebut masih dipegang teguh oleh para pengikutnya.[2]

Gagasan-gagasan inti dari fungsionalisme ialah perspektif holistis, yaitu sumbangan-sumbangan yang diberikan oleh bagian-bagian demi tercapainya tujuan-tujuan dari keseluruhan, kontinuitas dan keserasan dan tata berlandaskan consensus mengenai nilai-nilai  fundamental.

Fungsionalisme struktural bermaksud menjadi suatu teori umum mengenai masyarakat yang tidak begitu membenarkan kapitalisme (walaupun sering terjadi justeru membenarkan). Sebagai sesuatu yang memberikan penjelasan dan pemahaman mengenai kesulitan-kesulitan kapitalisme, tanpa mengutuknya. Seperti akan kita lihat, hal ini dicapai dengan melihat kesulitan-kesulitan itu sebagai bagian dari model Parsons yang bersifat evolutif, menuntun kepada stabilitas dan integrasi yang lebih besar.

Teori fungsional ini menganut faham positivisme, sehingga dalam melakukan  kajian haruslah mengikuti aturan ilmu pengetahuan alam. Dengan demikian, fenomena tidak didekati secara kategoris, dengan tujuan membangun ilmu dan bukan untuk tujuan praktis. Analisis teori fungsional bertujuan menemukan hukum-hukum universal [generalisasi] dan bukan mencari keunikan-keunikan [partikularitas]. Dengan demikian, teori fungsional berhadapan dengan cakupan populasi yang amat luas, sehingga tidak mungkin mengambilnya secara keseluruhan  sebagai sumber data. Sebagai jalan keluarnya, agar dapat mengkaji realitas universaaal tersebut maka diperlukan representasi dengan cara melakukan penarikan sejumlah sampel yang mewakili. Dengan kata lain, keterwakilan [representatifitas] menjadi sangat penting.[3]

Oleh karena kajian  teori fungsional menekankan upaya menemukan hubungan kausal dan atau korelasi antar fenomena, maka metode penelitian ini lebih mengarah kepada pemakaian teknik  kuantitatif. Dengan sendirinya, metode survey lebih memungkinkan peneliti  untuk dapat menguji hubungan kausalitas antar fenomena. Kedua metode penelitian kuantitatif tersebut terakhir menjadi sangat populer dimata para eksponen teori structural fungsional.[4]

Durkheim mengemukakan bahwa ikatan solidaritas mekanis, yang dijumpai pada masyarakat yang masih sederhana, laksana kohesi antara benda-benda mati, sedangkan ikatan solidaritas organis, yang dijumpai pada masyarakat yang kompleks, laksana kohesi antara organ hidup.  Pernyataan seperti ini mencerninkan penganutan analogi organis aggapan mengenai adanya persamaan tertentu antara organis biologis  dengan masyarakat.  Analogi organis merupakan suatu cara memandang masyarakat yang banyak kita jumpai dikalangan penganut teori fungsionalisme. Gambaran yang disajikan Dahrendorf mengenai pokok-pokok teori fungsionalismeadalah sebagai berikut :

1.    Setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil.

2.    Mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik

3.    Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu sistem.

4.    Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada consensus mengenai nilai dikalangan para anggotanya.[5]

Fungsionalisme Durkheim ini  tetap bertahan dan dikembangkan lagi oleh dua orang ahli antropologi abad  ke 20, yaitu Bronislaw Malinowski dan A.R Radcliffe- Brown. Keduanya dipengaruhi oleh ahli-ahli sosiologi yang melihat masyarakat sebagai organisme hidup, dan keduanya menyumbang buah fikiran mereka  tentang hakikat analisa fungsional  yang dibangun  diatas model organis. Didalam batasannya tentang beberapa konsep dasar fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial, pemahaman Radcliff Brown [1976: 503-511] mengenai fungsionalisme merupakan dasar fungsional kontemporer.

Fungsi dari setiap kegiatan yang selalu berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau upacara  penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan sosial sebagai keseluruhan dan karena itu, merupakan  sumbangan yang  diberikannya  bagi pemeliharaan kelangsungan structural.[6]

Yang sangat mengherankan,  perspektif structural sekitar tahun 1950 an dan awal 1960 an justru menjadi Landasan  pengembangan  teori medernisasi, yakni salah satu teori modernisasi tersebut paling populer dan berkembang. Kenapa perspektif struktural fungsional  yang sangat sedikit sekali perhatiannya terhadapmasalah perubahan sosial,  justru tampil sebagai kekuatan intelektual yang dominan disamping teori perubahan sosial lainnya? Penjungkir balikan  yang mendongkolkan yang terjadi  dalam sosiologi kontemporer demikian itu nampaknya  memerlukan suatu penyelidikan. Tetapi penyelidikan tersebut bukan pekerjaan yang ringan. Paling kurang terdapat tiga faktor yang berkaitan dengan kontradiksi metodologis yang aneh itu.

1.      Beberapa premis metodologis perspektif structural fungsional.

2.      Konsep difusi kultural dibidang ekonomi dan teknologi.

3.      Adanya etnosentrisme dikalangan ahli ilmu sosial Barat pada umumnya- mengenai cara-cara mencapai kemajuan.

Seperti teori formal tentang masyarakat, struktural fungsional mempunyai empat premis dasar :

1.      Masyarakat adalah suatu sistem yang secara keseluruhan terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung.

2.      Keseluruhan atau sistem yang utuh menentukan bagian-bagian. Artinya bagian yang satu tidak dapat difahami secara terpisah kecuali dengan memperhatikan hubungannya dengan sistem keseluruhan yang lebih luas dimana bagian-bagian  menjadi unsurnya. Pola organisasi kekeluargaan, pranata politil, dan organisasi ekonomi - teknologi.

3.      Bagian-bagian harus difahami dalam kaitannya dengan fungsinya terhadap keseimbangan sistem keseluruhan sebagai satu sistem terdapat hubungan fungsiol.[7]



[1] Ibid, 377

[2] Irving, M. Zeitlin, Memahami Kembali Sosiologi, (Yogyakarta: Gadjah Mada, University Press, 1998), 3

[3] Zainuddin Maliki, Tiga Teori Sosial Hegemonik, (Surabaya : Narasi Agung, 2003), 50

[4] Ibid, 51

[5] Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: UI, 1993), 239

[6] Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), 26

[7] Alimandan, Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), 82