Nietzsche (Oleh:
Aji Sastrowardoyo)
Nihilisme adalah sebuah kepastian peradaban. Inilah yang ingin
disampaikan Nietzsche kepada dunia, dunia yang ketika itu ia tinggali, Eropa,
dan yang akan menjadi arus utama peradaban dunia mendatang. Nietzsche
menggunakan nihilisme sebagai nama
bagi sebuah pergerakan kesejarahan yang dialah kali pertama menyadari hal
tersebut dan yang telah mengendalikan abad sebelumnya sementara mendefinisikan
abad yang akan datang. Dialah yang mengatakan untuk pertama kali sebagai seorang
nihilis sejati Eropa. Bukan karena pilihan, tapi oleh keadaan, dan karena dia
terlalu besar untuk menolak warisan masanya.
Bersama Nietzsche, Nihilisme nampaknya menjai sesuatu yang profetik.
adalah–lebih awal dari nabi–seorang pendiagnosa. Pendiagnosa memiliki
kesamaan dengan nabi–keduanya berfikir dan beroperasi dalam jangkauan masa
depan. Nietzsche seorang filsuf Jerman yang mampu melihat laju pergerakan
sejarah manusia menuju kiamat, dan ia selalu berbicara tentang kiamat itu, tidak
dalam kerangka untuk memujinya, namun untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang
menjijkkan, dan dalam aspek kalkulatif, kiamat ini akhirnya akan mengasumsikan,
tapi dalam kerangka untuk menghndarinya dan mentransformasinya dalam sebuah renaisssance.
Nihilisme merupakan sebuah renungan, renungan yang pada intinya adalah
sebuah renungan tentang munculnya krisis kebudayaan pada masa itu, di
Prusia-Jerman, dan juga Eropa secara keseluruhan. Nietzsche mendiagnosa dalam
dirinya dan orang lain ketidakmampuan untuk meyakini dan juga ketiadaan
kemunculan/kehadiran fondasi primitif dari semua keyakinan–sebut saja
keyakinan dalam hidup. Nietzsche melukiskan bahwa gerak kebudayaan Eropa pada
waktu itu bagaikan aliran sungai yang menggeliat kuat saat mendekati bibir
samudra. Metafor ini ditujukan kepada orang-orang Eropa yang “tidak sanggup
lagi merenungkan dirinya sendiri, yang takut merenung.” Inilah satu dari
ratusan tanda datangnya Nihilisme.
Nietzche merengkuh dengan pandangan profetik tentang telah dekatnya
keruntuhan dukungan tradisional dari berbagai nilai yang mana manusia modern
telah mengikatkan diri padanya. Gairah optimisme lebih jauh dihidupkan oleh
kemajuan gemilang dari sains dan teknologi. Dengan berani Nietzsche meramalkan
bahwa kuasa politik dan perang-perang kejam akan terjadi dimasa depan. Apa yang
ia rasakan adalah semakin mendekatnya periode nihilisme,
benih-benih telah ditabur.
Fakta terbesar baginya bukanlah kekuatan militer ataupun terbukanya
tabir-tabir kemajuan ilmu pengetahuan tapi lebih pada sebuah fakta bahwa
kepercayaan dalam “Tuhan Kristen” telah secara drastis menurun hingga pada
titik dimana ia bisa mengatakan dalam istilah singkat-tepat: “God is dead/Tuhan
sudah mati.” Yakni untuk mengatakan, “Tuhan Kristen” telah kehilangan
kuasa dan determinasiNya terhadap manusia.
“Tuhan Kristen” dalam hal ini juga menjadi wakil untuk yang
“transenden” dalam maknanya yang umum maupun dalam maknanya yang beragam–yang
“ideal” dan “norma,” “prinsip” dan “aturan,” “Tujuan” dan
“nilai,” yang diletakkan diatas manusia dengan maksud untuk memberi manusia
sebuah keseluruhan tujuan, sebuah tatanan, dan–yang terekspresikan secara
singkat dengan–makna/meaning.” Nihilisme merupakan proses kesejarahan dimana dominansi
dari yang “Transenden” menjadi kosong dan tidak ada, sehingga seluruh
makhluk kehilangan nilai/harga dan makna. Nihilisme adalah sebuah sejarah
manusia itu sendiri, melalui kematian “Tuhan Kristen” itu sendiri dimana
secara perlahan menuju kepastian.
Bertentangan dengan berbagai pendapat dari para kritikus Kristen,
Nietzsche tidaklah menyajikan sebuah proyek untuk membunuh Tuhan. Dia
menemukanNya mati dalam jiwa orang-orang masa kini. Dialah orang yang kali
pertama memahami besarnya kepentingan dari peristiwa tersebut dan memutuskan
bahwa pemberontakan ini diantara orang-orang tidak dapat menuju renaisssance
kecuali jika ia dikendalikan dan diarahkan. Seluruh sikap lain yang mengarah
pada hal tersebut, apakah ia disesali atau hanya untuk kepuasan sendiri, harus
mengarah pada kiamat itu. Dengan demikian Nietzsche tidak menformulasi sebuah
filsafat tentang pemberontakan, tapi mengonstruksi sebuah filsafat yang
memberontak.
Nietzsche sendiri memahami filsafatnya sebagai sebuah pengenalan kepada
sebuah era baru. Dia memimpikan masa yang akan datang–yakni, masa yang sedang
berjalan sekarang, abad keduapuluh–sebaga start dari sebuah era yang
pergolakannya tidak dapat dibandingkan dengan apapun yang telah dikenal
sebelumnya. Meskipun pemandangan dari teater dunia ini masih tetap sama, namun
permainan dalam performanya akan menjadi berbeda. Faktanya adalah bahwa
tujuan-tujuan awal sekarang menjadi hilang dan nilai sebelumnya terdevaluasi
dialami tidak hanya sebagai sekedar penghancuran dan disesalkan sebagai percuma
dan salah, tapi ia dimaknai sebagai sebuah liberasi, dipuja sebagai sebuah
pencapaian yang tak munkin kembali lagi, dan dipersepsi sebgai pemenuhan.
Nihilisme adalah sebuah meningkatnya kebenaran dominan bahwa semua tujuan
utama dari manusia telah menjadi berlebihan, sia-sia. Tapi transformasi ini dari
relasi sementara kepada nilai yang mengendalikan, nihilisme telah juga
menyempurnakan dirinya untuk tugas yang bebas dan murni dari sebuah penilaian baru.
Nietzsche menggambarkan “metafisika”nya dengan nama ini dan menyusunnya
sebagai serangan terhadap semua metafisika yang ada sebelumnya. Nama nihilisme
kemudian kehilangan makna yang berupa sekedar kerangka penghancuran yang mana
itu berarti perusakan dan pemusnahan nilai-nilai yang ada sebelumnya, hanya
sekedar penegasian dari yang ada dan kesia-siaan sejarah manusia.
“Nihilisme” mengindikasikan kebebasan dari nilai-nilai sebagai
kebebasan untuk menilai ulang nilai-nilai.
Nietzsche menggunakan ekspresi “revaluation
of all values hitherto” berdampingan dengan kata kunci nihilisme sebagai rubrik
utama yang dengannya ia meletakkan posisi metafisika fundamentalnya tempat
definitnya bersamaan dengan sejarah dari metafisika-metafisika Barat.
Dari “penilaian ulang nilai-nilai (revaluation of values),” kita
memperkirakan bahwa nilai-nilai tergantikan dipostulatkan ditempat yang
sebelumnya. Tapi bagi Nietzsche “revaluasi” berartai bahwa “tempat”
untuk sebelumnya itu sendiri hilang, tidak sekedar nilai itu sendiri jatuh. Hal
ini secara tidak langsung, bahwa hakikat dan arah dari penilaian, dan definisi
dari esesnsi nilai tertransformasikan. Revaluasi berpikir Ada untuk pertama kali
sebagai nilai. Dengannya, metafisika mulai menjadi pemikiran nilai. Bersamaan
dengan transformasi ini, nilai utama tidak sekedar mengalah/mati untuk devaluasi,
tapi diatas itu semua, kebutuhan atas
nilai dalam bentuk awal dan tempat sebelumnya–yakni untuk mengatakan, tempat
mereka dalam yang transenden–dicerabut. Pencerabutan masa lalu membutuhkan
penggantian secara pasti dengan penguatan penumbuhan ketidakpedulian dari nilai
kuno dan dengan penghapusan sejarah melalui sebuah perevisian ciri-ciri dasarnya.
“Revaluasi nilai utama” terutama adalah memorfosis dari semua penilaian dari
dulu hingga sekarang dan “pelahiran” dari sebuah kebutuhan terhdap
nilai-nilai.
Jika esensi metafisika berdasar pada pendasaran kebenaran dari manusia
sebagai keseluruhan, maka The revaluation
of all values, sebagai pendasaran dari prinsip untuk sebuah penilaian baru,
adalah metafisika itu sendiri. Apa yang Nietzsche rasa dan postulasikan sebagai
karakter dasar dari manusia sebagai keseluruhan adalah apa yang ia sebut dengan
“will to power (kehendak akan kuasa).” Konsepnya tidak sekedar membatasi apa
seorang manusia dalam mengadanya adalah: Frase Nietzsche, “will to power,”
yang dalam berbagai hal menjadi familiar, berisi interpretasinya dari esensi kuasa. Setiap kuasa
adalah kuasa hanya selama ia lebih kuasa; yakni untuk mengatakan, sebuah
peningkatan dalam kuasa. Kuasa dapat mempertahankan dirinya dalam dirinya, yakni,
dalam esensinya, hanya jika ia mengambil alih dan menguasai tingkatan kuasa yang
telah dicapainya–overpowering/melampaui
kuasa adalah eksprei yang digunakan. Segera setelah kuasa berada pada sebuah
tingkat kuasa tertentu, ia kemudian menjadi powerless/tak berkuasa. ”Will to power” tidak sekedar bermakna
hasrat “romantis” dan petualangan oleh mereka yang tidak punya kuasa; lebih
pada, “will to power” bermakna pertumbuhan kuasa oleh kuasa demi pelampauian
kuasa.
“Will to power” adalah sebuah nama tunggal untuk karakter dasar dari
manusia dan esensi kuasa. Nietzsceh seringkali mensubstitusi “daya/force” untuk “will to power” dalam sebuah cara yang seringkali
disalahpahami. konsepsinya tentang karakter dasar dari manusia sebagai will to power bukanlah penemuan atau
tingkah dari seroang pelaku fantaswan yang telah tersesat dari mengejar chimeras(ide-ide
yang tak masuk akal). Itu adalah pengalaman fundamental dari seorang pemikir/thinker; yakni, satu dari para indvidual yang tidak
mempunyai pilihan kecuali untuk mencari kata-kata untuk apakah seorang manusia
pada hakikatnya dalam sejarah dari pengadanya (Being). Setiap manusia, sejauh
sebagaimana adanya, dan adalah sebagai
hal itu, adalah “will to power.”
Karena semua manusia sebagai will to power–yakni, sebagai pelampauian
kuasa diri yang tak putus-putusnya–harusnya menjadi seorang “becoming” yang terus menerus, dan karena becoming yang demikian tidak dapat
bergerak “menuju sebuah akhir” diluar
dirinya yang “lebih jauh dan seterusnya,” tapi adalah secara tak
henti-hentinya masuk dalam peningkatan siklis atas kuasa dimana ia kembali,
kemudian menjadi manusia secara keseluruhan juga, ketika penyesuaian-kuasa
kemenjadian, dirinya harus selalu mengulang lagi dan menghadirkan yang sama.
Dengan demikian. Karakter dasar dari manusia sebagai will to power adalah
juga didefinisikan sebgai “an eternal recurrence of the same.” Yang akhir
ini menentukan rutbrik utama yang lain dalam metafisika Nietzsceh dan, lebih
lagi, secara tidak langsung berdampak sesuatu yang esensial: hanya melalui
esensi tersusun yang adekuat tentang will to power dapatlah ia menjadi jelas
mengapa Ada dari manusia sebagai sebuah keseluruhan harus menjadi keterulangan
abadi yang sama/the eternal recurrence of
the same. Demikian juga sebaliknya: hanya melalui esesnsi the eternal recurrence of the same dapatlah esensi paling pusat dari
will to power dan berbagai
kebutuhannya diperoleh.