C. Mempraktikkan Linguistik dalam ruang kelas

 

Ruang kelas merupakan sebuah habitus kecil mencomot konsep pertautan dominasi dan subordinasi dalam sebuah komunitas-nya John Piaget. Dimana didalamnya tercipta hubungan simbiosis antara seorang guru sebagai penjuru utama dan murid-murid sebagai bagian yang tak terpisahkan karena tak akan terpenuhinya hubungan komunikatif tanpa keberadaannya.[1]

Hubungan komunikasi yang terjadi anatara guru dan murid bukanlah merupakan bentuk komunikasi linier, karena keduanya mempunyai beban yang berbeda. Sang guru mempunyai kewajiban untuk dapat menjelaskan setiap ilmu pengetahuan yang akan ditransver kepada murid, sedangkan murid akan berusaha untuk menangkap setiap susunan gramatikal yang keluar dari mulut sang guru, semakin jelas dan terang citra akustis yang keluar dari mulut guru akan berpengaruh pula pada pemahaman murid. Begitu juga dalam hal pemilahan susunan tanda yang akan digunakan oleh guru untuk merepresentasikan impresi mental yang ada dalam pemahamannya sebagai wujud ujaran yang akan ditangkap oleh murid, akan semakin jelas dan mudah dipahami bila merupakan susunan tanda yang tepat dan tidak berbelit-belit serta membingungkan. Karena pemilahan diksi kata yang tepat akan semakin membantu kelancaran proses komunikasi, melihat kebutuhan utama dalam komunikasi akan pemahaman pendengar serta kelegaan pembicara. Kalau kedua kebutuhan tersebut belum tercapai maka dapat dipastikan telah terjadi sebuah ketidak beresan dalam berkomunikasi, entah karena pilihan diksi kata yang kurang tepat oleh guru ataukah daya tangkap yang kurang sempurna dari murid.

Metode apapun yang dipakai oleh sang guru, tidak bisa mengabaikan pentingnya pemahaman linguistik dalam proses pengajaran. Setiap bentuk komunikasi yang secara langsung memang terbentuk dari susunan sistem tanda hasil pilihan sang guru, akan memberikan nuansa tersendiri dalam tiap-tiap proses pengucapannya. Hal ini yang kemudian dijadikan oleh para bahasawan sebagai legitimasi kekuatan bahasa dalam mempresentasikan makna paling dalam oleh pengucapnya. Sampai-sampai dapat diajdikan sebuah indikatror, apabila seseorang dapat berbahasa dengan baik dan benar serta dapat memilih diksi yang tepat, maka dapat dijlaskan bahwa seseorang tersebut mempunyai struktur logika yang sistematis, begitu pula sebaliknya, bila sesseorang asal asalan dalam berbicara dan tidak pandai memilih diksi kata yang tepat dapat dijelaskan pula bahwa dia tidak mempunyai logika yang sistematis.

Langue sebagai sistem kebahasaan secara umum, tercipta dalam sebuah ruang kelas. Setiap individu meskipun tetap mempunyai hak terhadap parole-nya sendiri-sendiri, dia tidak bisa keluar dari sistem bahasa umum tersebut. Akibatnya, tiap-tiap individu didalamnya baik guru maupun murid, pada dasarnya harus mempunyai kontrak kolektif yang harus diterima secara menyeluruh bila hendak berkomunikasi.

Disamping sebagai institusi sosial, dalam ruang kelas, langue juga sekaligus sebagai sistem nilai. Bila sebagai institusi sosial langue sebagaimana tersebut diatas yakni sebuah bentuk kontrak kolektif antara guru dan murid, namun bila sebagai sistem nilai langue tersusun atas sejumlah elemen yang sekaligus merupakan ekuivalen dari kuantitas benda-benda dan terma-terma yang berfungsi lebih luas didalam tatanan diferensial. Semua kontrak kolektif yang telah disepakati oleh guru dan murid dalam berkomunikasi, masing masing kontrak tersebut mempunyai nilai yang ekivalen dari kuantitas-kuantitas parole tiap-tiap individu baik guru maupun murid, dengan tatanan yang diferensial.

Dipandang dari sisi ini, sebuah tanda dapat diumpamakan seperti sekeping uang logam (koin) yang bernilai sejumlah barang tertentu –hingga bisa dibelanjakan- tapi juga punya nilai dalam kaitannya dengan koin-koin yang lain.

Karena hubungan-hubungan diatas, prosedur-prosedur komunikasi yang akan terjalin antara guru dan murid, sudah seharusnya terbangun dari bentuk-bentuk komunikasi yang netral dan linier, karena akan memberikan pengaruh positif kepada prespektif mental murid ketika menangkap keterangan guru. Berbeda dengan pola komunikasi yang tersusun secara tidak seimbang, entah karena guru yang terlalu banyak bicara, atau karena beban moral yang masih menghinggap pada tanda-tanda ujaran seperti pemakaian kata-kata krama inggil dalam bahasa jawa. Hal ini akan berakibat pada  penangkapan pesan yang tidak sempurna dan tidak bebas, karena masih dibebani dengan fenomena-fenomena yang mempunyai implikasi secara psikologis.

 

Kesimpulan

 

Sudah menjadi keniscayaan dalam prosesi belajar mengajar, tentang adanya komunikasi yang terjalin antara guru dan murid.



[1] Nash, Roy, Bourdieu on Education and Social and Cultural Reproduction, dalam British Journal of Sociology of Education, vol. 11, no. 4, 1990, hal, 431