Linguistik Dalam Proses Belajar Mengajar

 

Pendahuluan

Sebagaimana strukturisasi bahasa yang dibuat oleh Ferdinand de Saussure, proses komunikasi belajar mengajar dalam ruang sekolah dapat pula dikaji melalui analisis tersebut. Proses komunikasi yang terjadi antara guru dan murid selalu akan memakai bahasa karena bahasa adalah salah satu alat komunikasi yang paling banyak digunakan selain bentuk isyarat yang lain. Hal tersebut memungkinkan adanya analisis lebih dalam mengenai konsep pengajaran apa yang digunakan oleh guru dan seberapa besar kemungkinan makna dan pemahaman yang diterima oleh murid.

Beberapa metode pengajaran yang dipakai dalam pengajaran bahasa arab seperti Manhaj Nadhoriyah Basyariyah dan Manhaj al Qiro’ah, mempunyai konsekwensi masing-masing dalam proses pencerapan pemahaman murid. Masing-masing mempunyai kekuatan dan kelebihan, namun yang tidak bisa dipungkiri adalah penggunaan “disksi kata” yang tidak lain adalah tanda-tanda yang diambil oleh guru dari kamus besar bahasa dalam ruang maya pikiran guru -sebagaimana garis arbitrary bahasa-nya Saussure- untuk mengungkapkan maksud dan tujuannya, pilihan diksi kata ini merupakan hal yang signifikan, karena citra akustis yang keluar dari mulut guru ini tidaklah semena sebuah tanda untuk mengungkapkan impresi mental (alam fikir), namun lebih dari itu, dapat menjadi simbol dan indikasi akan kapabilitas guru pada mata pelajaran yang diajarkannya, serta struktur logika yang mendukung tercapainya keterangan-keterangan yang sistematis.[1]

Beranjak dari kecurigaan itu, dalam proses belajar mengajar seyogyanya tiap-tiap guru menguasai tehnik-tehnik dalam pemilahan tanda-tanda untuk mengungkapkan impresi mentalnya ketika berhadapan dengan murid, karena tiap-tiap individu mempunyai sistematika parole sendiri. Karena parole merupakan hak individu dalam berbahasa, sudah sewajarnya kemudian apabila guru bisa lebih arif dalam memilih dan memilah susunan leksikal yang baik dan benar, dalam balaghoh hal ini disebut dengan dzauq al lafdziyah. Guru mempunyai beban lebih daripada murid, karena guru mempunyai kewajiban untuk dapat mengantarkan proses transformasi pengetahuan murid menuju kepada pemahaman yang sempurna.

Kenyataan demikian ternyata masih kurang dipahami dalam pola-pola pengajaran di Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, masih banyak para dosen yang belum bisa mempraktikan pengetahuannya mengenai linguistik dalam proses belajar mengajar, atau salah-salah memang tidak tahu? Wallahu a’lam, yang jelas keadaan demikian terus berlanjut sampai sekarang.

Bahkan ada sebuah kasus yang agak menggelitik, dalam sebuah perkuliahan sekelompok mahasiswa semester VI mencoba menghitung ungkapan kata na’am oleh seorang dosen, alih-alih karena sang dosen memang terlalu sering menyebut kata na’am, sampai akhir session setelah dikumpulkan ternyata jumlah ungkapan kata na’am tersebut berjumlah 114. Bayang kan dalam durasi waktu satu setengah jam dosen itu mewirid kata na’am sebanyak itu apa tidak ada pekerjaan lain? Sebuah pilihan diksi yang sangat membosankan.



[1] Budiman, Kris, Analisis Wacana dalam pendekatan Semiotik Roland Barthes, UGM, Yogyakarta, hal, 67